Hampir sepanjang hidupnya, pria yang meninggal pada 16 September 2020 ini mendedikasikan diri untuk menyelamatkan benda-benda peninggalan sejarah Kerajaan Aceh bernilai sejarah tinggi. Semua itu dia lakukan seorang diri.
Intisari-Online.com -Masih ingat film Tjut Nyak Dhien? Film kolosal garapan sutradara Erros Djarot tahun 1987 itu menceritakan perjuangan seorang perempuan pahlawan Tjut Nyak Dhien dalam mengusir penjajah Belanda dari Bumi Aceh.
Ternyata, pembuatan film itu tidak lepas dari peran Harun Keuchiek Leumiek. Menurut cerita Harun, di suatu hari tahun 1987, sebuah kru produksi film dari Jakarta bertandang ke rumahnya di Simpang Surabaya, Desa Lamseupeung, Banda Aceh.
Untuk kepentingan pembuatan film itu, mereka meminta kesediaan Harun meminjamkan atribut atau benda-benda budaya warisan Aceh masa lalu. Atribut tersebut berupa senjata tajam khas Aceh, kain tenun Aceh masa lalu, dan pelbagai macam perhiasan.
”Mereka minta saya meminjamkannya selama setahun,” kata Harun.
Ada 100 jenis koleksi yang dipinjamkan Harun untuk Erros Djarot dan kawan-kawan. Salah satu koleksi amat langka yang dipinjamkan Harun adalah kain tenun sutera Aceh yang telah berusia lebih dari 200 tahun.
Kain itulah yang dipakai Christine Hakim untuk memerankan sang tokoh utama Tjut Nyak Dhien dalam film yang kemudian meraih delapan Piala Citra dan sejumlah penghargaan lain di dalam maupun di luar negeri.
Siapa pula Harun?
Harun dilahirkan di Banda Aceh pada 19 September 1942. Saat kecil dia sempat mengecap pendidikan di sekolah Tionghoa Chung Hwa di Banda Aceh. Di tahun-tahun 1940 hingga 1950-an sekolah itu sangatlah maju. Sayang, di masa Orde Baru, pemerintah menutup sekolah itu.
Ayah Harun, Keuchiek Leumiek, menyekolahkan putra satu-satunya itu ke Sekolah Chung Hwa karena berharap agar kelak si anak bisa meneruskan pekerjaannya berbisnis jual-beli emas dan perhiasan. Namun Harun hanya lima tahun bertahan di sana, kemudian pindah ke sekolah pemerintah.
Meski begitu, lima tahun sudah bisa membuat Harun fasih berbahasa Mandarin. Kemampuan berbahasa itulah yang di masa-masa kemudian memberi kontribusi pada lancarnya komunikasi dalam berbisnis dengan orang-orang Tionghoa.
Sang ayah memiliki sebuah toko yang diberi nama ”Toko Mas Keuchik Leumiek.” Di tempat itu Harun kecil setiap hari diasah kemampuan melebur emas dan membuat perhiasan, lalu menjualnya.
Ternyata tak hanya pengetahuan cara membuat perhiasan menurun pada Harun. Jiwa berniaga pun menurun kepadanya. Harun tanpa kesulitan membantu bisnis orangtua.
Sejak tahun 1960-an, usaha Harun bersama sang ayah terus berkembang. Mereka berhubungan dengan makin banyak warga. Selain menjual perhiasan emas, ada pula warga yang menawarkan benda-benda sejarah yang sebagian bernilai tinggi. Mulai saat itulah Harun menjadi kolektor sekaligus pedagang benda-benda budaya.
Dia membeli lalu menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi. Sejak tahun 1978, Keuchiek Leumiek melepas total seluruh roda bisnis dan menyerahkannya kepada Harun. Dalam empat tahun, usaha berkembang pesat.
Harun mengaku bahwa nama besar sang ayah berkontribusi besar pada kesuksesan bisnisnya. Harun juga berinovasi. Setiap hari berbagai informasi dan harga emas di pasaran dunia diikutinya. Harga yang ditawarkannya pun mengacu pada harga emas harian di pasaran dunia.
Dia juga melakukan diversifikasi produk.
Kalau sebelumnya hanya berkutat pada emas berbentuk cincin, kalung, gelang, anting, Harun mulai membuat suvenir. Perhiasan emas dalam beberapa motif dia modifikasi menjadi khas dan spesifik Aceh. ”Bentuknya saya kombinasikan antara perhiasan lama dengan yang baru, sehingga lahir bentuk yang khas dan lebih estetis,” katanya.
Usaha sampingannya sebagai kolektor benda-benda masa lalu juga bergerak maju. Harun kian dikenal juga sebagai pedagang perhiasan warisan budaya. Tapi suatu saat Harun seperti mendapat bisikan yang mempertanyakan mengapa benda bernilai sejarah tersebut dijualnya kembali.
”Kalau sebelumnya perhiasan yang saya beli itu saya hancurkan kembali menjadi emas murni, maka sejak tahun 1960-an, saya mulai menyelamatkan barang-barang perhiasan yang bernilai sejarah,” kata Harun.
Selain memiliki nilai sejarah, perhiasan dan benda-benda seni yang kini disimpannya juga memiliki bentuk dengan nilai seni yang tinggi, baik kehalusan cara pembuatannya maupun motifnya yang spesifik dan unik.
Kehalusan cara pembuatannya, kata Harun, diakui banyak orang.
”Gubernur Aceh saat itu, Prof. Ali Hasjmy, pernah menceritakan ke saya bahwa orang Aceh zaman dulu bikin sebuah rencong saja berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih dari setahun. Itu sebab, hasilnya halus dengan motif-motif yang unik,” kata Harun, yang juga wartawan harian Analisa ini.
Menurut dia, kerajaan Aceh di masa lalu memiliki tak kurang dari 250 jenis perhiasan. Ini menempatkan Aceh sebagai daerah yang kaya akan benda-benda budaya berbentuk perhiasan, lebih banyak daripada provinsi mana pun di Indonesia.
Sejak memiliki kesadaran untuk menyelamatkan warisan sejarah Aceh, Harun tidak hanya menunggu penjual datang kepadanya, tetapi menjemput bola. Dia aktif memburu berbagai barang bernilai sejarah. Koleksi mula-mula menumpuk di toko.
Baru pada tahun 1975, saat memiliki rumah sendiri di Simpang Surabaya, Banda Aceh, koleksinya ditata. Harun tidak memfokuskan koleksinya pada emas dan perhiasan tempo doeloe saja. Dia berpandangan, setiap benda pasti punya pertalian dan ”benang merah” dengan masa lalu.
Itu sebab semua benda yang bernilai sejarah harus diselamatkan.
Ikut pameran
Dalam kiprahnya sebagai pengusaha emas dan kolektor benda-benda warisan budaya Aceh, Harun juga aktif mengikuti berbagai kegiatan pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Pameran memberi kesempatan bagi dia untuk mempelajari berbagai perkembangan model dan motif terbaru bentuk-bentuk perhiasan.
Harun juga sering tampil pada berbagai event budaya, khususnya yang menampilkan etnis Aceh. Pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-3 tahun 1988 di Blang Padang, Banda Aceh, Harun memamerkan berbagai benda seni koleksinya.
Begitu juga pada PKA ke-4, 19-29 Agustus 2004. Bukan cuma di tingkat Aceh. Pada tahun 1990, Harun mendapat kehormatan untuk memamerkan koleksinya pada pameran benda-benda kepurba- kalaan di Istana Negara, Jakarta.
Koleksi Harun mencakup hampir seluruh budaya bernilai sejarah Aceh, mulai dari mata uang kuno (dirham Aceh) peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai yang pernah berlaku di abad ke-13 M, sampai peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam abad ke-18. Menurut katalog yang dimilikinya, lebih dari 80 jenis benda budaya sudah diselamatkan Harun.
Itu belum termasuk aksesoris dan pelbagai benda porselen. Kalau dijumlahkan, kata Harun, mungkin lebih dari 1.000 buah. Semua benda budaya bersejarah itu kini tersimpan rapi di rumahnya yang sebagian difungsikan sebagai museum.
Harun juga mengoleksi lebih dari 40 helai kain tenun Aceh yang rata-rata berusia 200-300 tahun--terbuat dari sutera asli Aceh dengan motif aneka warna yang tersulam dari benang emas dan perak. Sedangkan koleksi senjata tajamnya mencapai 157 buah yang rata-rata juga berusia ratusan tahun.
”Bahkan 20 unit di antaranya sangat langka atau malah hampir tidak ada lagi di masyarakat di Aceh,” kata Harun menunjuk sederet pedang yang terbuat dari emas, suasa, dan perak.
Sementara koleksi perhiasannya mencapai lebih dari 100 jenis. Ada yang berupa kalung, simplah, (perhiasan di dada) gelang tangan dan gelang kaki, subang (anting-anting), sawek (gelang besar untuk lengan bawah), tusuk sanggul, berbagai model cincin, beberapa bentuk tali pinggang, boh ru (perhiasan yang digantung pada sudut sapu tangan) dan sejumlah azimat (perhiasan yang diyakini mengandung kesaktian), serta puluhan perhiasan lain.
Ada pula koleksi mata uang, baik mata uang kertas maupun koin.
Harun mengaku sudah menghabiskan uang pribadi yang tak ternilai guna menyelamatkan warisan sejarah itu. Kepada anak-anaknya dia berpesan agar tidak menjual benda-benda itu sekalipun dirinya telah tiada.
”Dengan menyelamatkan benda-benda sejarah, kita akan tahu sejauh mana keberhasilan peradaban indatu (nenek moyang, red.), sehingga menjadi iktibar (pedoman, Red.) bagi kita untuk membangun masa depan,” kata penerima Anugerah Budaya dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia tahun 2006 ini.
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari, penulis: Said Kamaruzzaman, wartawan Serambi Indonesia
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News