Lasmi tak kenal lelah mengenalkan jamu gendong. Termasuk ke kalangan atas. Tak heran, jamu gendongnya dinikmati presiden, menteri, juga orang asing. Meski diimingi beragam fasilitas, Lasmi menolak tawaran mengajar cara pembuatan jamu di negara tetangga.
Intisari-Online.com - Lasmi mengaku sudah berjualan jamu sejak berusia 12-13 tahun. Saat kecil, dia tinggal di tinggal di Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Dia memang asli sana.
Ibunya sehari-hari berjualan jamu di Pasar Sukoharjo. Sebelum ibu, neneknya dulu yang memulainya. Jadi resepnya turun-temurun. Tradisi jualan jamunya pun turun-temurun.
Sejak umur 10 tahun, Lasmi sudah sudah membantu ibunya membuat jamu dan berjualan di pasar. Awalnya dia hanya membantu membawakan botol jamu dari rumah ke pasar. Jika di pasar habis, tugasnya adalah mengambil lagi stok jamu yang ada di rumah.
Lama-kelamaan, Lasmi ingin berjualan sendiri.
Tapi sebelum berjualan sendiri, Lasmi disuruh untuk melihat-lihat dan belajar terlebih dahulu cara menggendong tenggok alias bakul wadah jamu. Mulai dari menaikkan hingga menurunkan. “Itu yang paling susah. Saya juga disuruh latihan jalan, terus ibu pura-pura beli,” ceritanya, kepada Nova pada 2015 lalu.
Selanjutnya adalah belajar menggendong bakul di dalamnya sudah ada botol yang diisi air. Berat memang, tapi itulah yang harus dilakukan Lasmi sebelum terjun langsung berjualan jamu.
“Saya harus membantu orangtua membesarkan adik-adik saya,” kata perempuan yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara itu.
Setelah bisa, Lasmi keliling kampung jalan kaki berjualan jamu.
Saat usianya sekitar 20 tahun, dia memutuskan pindah ke Surabaya. Di Kota Pahlawan inilah dia menikah dan melahirkan anak pertamanya. Di Surabaya, Lasmi berjualan jamu dengan menggunakan sepeda.
Selama 10 tahun di sana, tidak ada peningkatan meskipun setiap hari jamu Lasmi habis. Akhirnya dia mengikuti jejak kakak perempuan yang sudah lebih dulu pindah ke Jakarta untuk berjualan jamu di Ibu Kota.
Terkait alasannya pindah ke Jakarta, Lasmi mengaku ingin meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu, dia juga ingin agar jamunya lebih dikenal lagi. Tapi perjuangan di Jakarta tentu jauh dari kata mudah, dia bahkan sempat pesimis, apakah bisa kerasan tinggal di kota yang terkenal macetnya itu.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR