Intisari-Online.com -Pemudik lawas dan kawakan pasti tak asing dengan Simpang Jomin, Simpang Tiga Celeng, dan Pintu Tol Pejagan.
Ketiganya adalah trio jalur mudik legendaris—sebelum dibangunnya Tol Cipali (Cikopo-Palimanan)—yang sayang sekali kini mulai dilupakan dan ditinggalkan oleh pemudik terutama yang menggunakan kendaraan roda empat.
Mereka lebih memilih jalur Top Cipali yang disebut lebih cepat dan efesien.
***
Selama berpuluh-puluh tahun, jalan nasional yang “menyempit” di Jomin, Cikampek, Jawa Barat, begitu menyengsarakan tetapi tetap harus dilintasi. Namun seiring pembangunan, Jomin kini menjadi sekadar kenangan.
Boleh jadi, sebagian dari pemudik yang naik sepeda motor tetap akan berjumpa dengan Jomin, tapi sensasinya jelas akan berbeda seperti ketika kendaraan beroda empat atau lebih masih melintasi Jomin.
Kemacetan lalu lintas di Jomin pasti tidak separah ketika ruas jalan tersebut dilalui mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, bus, hingga truk trailer.
Kini, sebagian dari pemudik lebih memilih untuk melintasi Tol Cikampek-Palimanan (Cipali).
Sekitar dua tahun yang lalu, wartawan Kompas pernah menempuh perjalanan Karawang Timur hingga Simpang Jomin (27 km) dalam sembilan jam!
Padahal, pada hari normal, Karawang Timur-Simpang Jomin dapat ditempuh dalam 30 menit. Saat itu, si wartawan menempuh perjalanan mudik dari Serpong, Tangerang, menuju Indramayu, Jawa Barat, selama 17 jam.
Padahal, jarak di antara dua titik itu yang hanya sekitar 200 kilometer pada saat normal dapat dicapai dalam 3,5 jam.
Selama puluhan tahun, Jomin jelas menjadi mimpi buruk. Ketika jalan tol hanya berakhir di Cikopo, perjalanan antara Cikopo dan Simpang Jomin harus ditempuh berjam-jam.
Jalan yang sempit jelas tidak mampu menampung lonjakan volume kendaraan.
Kenapa dari dulu pemerintah tidak melebarkan ruas jalan di Jomin? Dari sisi pendanaan sesungguhnya dapat saja Jomin dilebarkan.
Dapat dilebarkan pula menjadi empat atau enam lajur jalan. Namun ketika pada hari-hari biasa, jalan itu akan mubazir karena kendaraan yang melintas tidaklah banyak.
Simpang Jomin menjadi begitu ruwet karena ada pertemuan arus kendaraan yang melintasi jalan pantura lama dari Karawang dan kendaraan yang keluar dari Gerbang Tol Cikopo.
Ketika kemacetan begitu parah, biasanya polisi mengalihkan kendaraan pemudik di Kilometer 66 Tol Cikampek ke arah Subang ataupun Bandung.
Bagi jurnalis, dulu ada masanya ketika memantau Jomin menjadi perhelatan tahunan. Menara pos polisi Cikopo, misalnya, jelas takkan terlupakan.
Beberapa tahun silam, teknologi drone belum murah dan mewabah.
Tidak heran jika jurnalis harus sering naik menara pos itu untuk mengabadikan kepadatan kendaraan keluar dari Gerbang Tol Cikopo.
Penginapan di sekitar Cikopo-Cikampek, seperti Hotel Araruna dan Hotel Kota Bukit Indah Plaza, dulu juga kerap disesaki jurnalis pada arus mudik dan balik.
Seluruh media massa memang berkepentingan melaporkan kondisi terakhir jalur mudik.
Mengenang pasar tumpah
Lolos dari Simpang Jomin biasanya pemudik akan berhadapan dengan “ujian kesabaran” di Ciasem.
Setelah itu, pemudik akan bertemu dengan kepadatan lalu lintas di Simpang Tiga Celeng. Di simpang itu, arus kendaraan terbagi menuju Cirebon melalui Indramayu atau Jatibarang.
Satu dekade lalu, pemerintah telah membuat sodetan jalan.
Sodetan itu dikenal sebagai jalur Lohbener-Widasari, yang sebenarnya paralel dengan jalur lama, tetapi kepadatan tetap saja menghantui jalur mudik di Lohbener-Celeng.
Makin mendekati Cirebon, pemudik juga berpotensi terhambat pasar tumpah di Tegalgubug, Kabupaten Cirebon.
Kemacetan akibat pasar tumpah ini dapat mencapai belasan kilometer.
Ironisnya, tidak ada alasan bagi pedagang pasar tumpah untuk menghalangi lalu lintas karena biasanya masih ada cukup ruang di dalam pasar.
Ingatlah betapa dahulu polisi sampai memagari pasar-pasar yang berpotensi menjadi pasar tumpah.
Sebagian pasar tumpah yang kita alami di ruas jalan antara Cikampek dan Cirebon itu pun mulai memudar di ingatan kita.
Keluh kesah pemudik saat menembus pasar tumpah pun mulai terlupakan.
Lupa kita atas kemacetan belasan kilometer hanya karena becak yang diparkir di badan-badan jalan. Pasar tumpah adalah masa lalu.
Kekacauan di Pejagan
Tol Cipali yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Juni 2015 menjadi obat manjur bagi kemacetan selama puluhan tahun di Simpang Jomin.
Kendaraan beroda empat atau lebih langsung menembus Cikopo ibaratnya tanpa lagi sempat menengak-nengok. Tol Pejagan kini/Print.kompas.com
Apalagi kini, saat ruas tol dari Jakarta hingga Jawa Tengah sudah diintegrasikan, pengguna tol tidak perlu lagi transaksi di Gerbang Tol Cikopo.
Kawasan Cikopo berpotensi untuk dilewati tanpa harus mengerem lagi.
Padahal sebelumnya, ketika arus mudik Lebaran 2015 atau ketika ada liburan panjang akhir pekan, antrean untuk bertransaksi di Cikopo dapat mencapai sepuluh kilometer.
Waktu yang berharga pun diselamatkan dengan tidak adanya lagi antrean di Cikopo.
Namun berkaca pada pelaksanaan arus mudik Lebaran 2015, kemacetan bukannya tiada tetapi sekadar bergeser.
Sebab, volume kendaraan begitu tinggi maka tetap terjadi kemacetan misalnya di akses keluar dari Tol Pejagan.
Terjadi kemacetan berkilo-kilometer dari akses Tol Pejagan menuju jalan raya pantura. Kondisi ini sudah dapat diprediksi.
Ketika infrastruktur jalan belum sepenuhnya terbangun, tentu saja masih ada titik-titik kemacetan selama arus mudik.(Haryo Damardono/Kompas)