Ibu Bunuh Anak Di Bekasi Diindikasi Idap Skizofrenia, Memangnya Skizofrenia Adalah Penyakit Yang Seperti Apa?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Inilah jawaban dari pertanyaan seputar skizofrenia adalah penyakit yang seperti apa, terkait kasus ibu bunuh anak kandungnya di Bekasi, semoga mencerahkan.
Inilah jawaban dari pertanyaan seputar skizofrenia adalah penyakit yang seperti apa, terkait kasus ibu bunuh anak kandungnya di Bekasi, semoga mencerahkan.

Intisari-Online.com -Terjadi pembunuhan mengerikan di Bekasi, Jawa Barat, di mana seorang ibu membunuh anak kandungnya sendiri.

Menurut keterangan polisi, sang ibu diindikasi mengidap skizofrenia.

Memangnya skizofrenia adalah penyakit yang seperti apa?

Begini penjelasannya.

Seorang ibu, SNF inisialnya, menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri, AAMS (5), di Perumahan Burgundy, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Kamis (7/3).

AAMS tewas usai mendapatkan 20 luka tusukan, termasuk di bagian dada yang berakibat fatal.

SNF ditetapkan sebagai tersangka dijerat dengan Pasal 76C Juncto Pasal 180 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-Undang RI No 35 Tahun 2014 atau Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Terkait pembunuhan ibu terhadap anaknya di Bekasi, Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi Kota AKBP Muhammad Firdaus mengatakan bahwa SNF (26), ibu yang bunuh anak kandung di Bekasi terindikasi mengalami gangguan kejiwaan skizofrenia.

Pengungkapan tersangka pembunuhan anak kandung terindikasi mengalami skizofrenia ini dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis.

“Hasil dari pemeriksaan terhadap tersangka, kalau dari hasil psikologi, tersangka ini terindikasi skizofrenia,” kata Firdaus, Jumat (8/3).

Gangguan kejiwaan itulah yang kemudian membuat SNF kerap kali berhalusinasi sampai tega membunuh darah dagingnya sendiri.

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri mengatakan bahwa pelaku tindak pidana yang benar memiliki gangguan jiwa tertentu dapat lolos dari jerat hukum.

Hal ini sesuai dengan Pasal 44 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

Reza mengatakan bahwa dalam menangani perkara ini, polisi seharusnya tidak tergesa-gesa membuat narasi adanya indikasi gangguan jiwa yang diidap pelaku.

“Agar proses pertanggungjawaban secara pidana itu bisa berlangsung, maka kita hanya boleh punya asumsi tunggal bahwa pelaku sehat, pelaku sehat, pelaku rasional,” ucap Reza dalam Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu (9/3/2024).

“Sebaliknya, kalau kita tergesa-gesa mengatakan ada gangguan jiwa, sadar atau tidak sadar, kita memberikan ruang bagi pelaku untuk kemudian lolos dari jerat pidana,” ucapnya.

Narasi gangguan jiwa yang dialami pelaku juga membuat pengungkapan motif dan jenis pembunuhan menjadi tidak relevan

“Kalau kemudian kita angkat narasi tentang adanya kelainan jiwa tertentu pada tersangka, maka perbincangan motif, jenis pembunuhan, tidak lagi relevan,” kata Reza.

“Jangankan otoritas penegak hukum, tersangka pun tidak bisa menjelaskan apa motifnya, seberapa jauh perencanaannya.”

Reza berpendapat, pihak kepolisian untuk tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan kondisi kejiwaan pelaku.

Dia juga meminta polisi untuk mempertimbangkan potensi pelaku memainkan malingering atau pura-pura sakit demi lolos dari jerat hukum.

Dibutuhkan serangkaian tes yang panjang, pemeriksaan riwayat medis, dan observasi mendalam terhadap keseharian pelaku sebelum memastikan apakah pelaku benar mengalami gangguan kejiwaan tertentu atau melakukan malingering.

Kembali ke pertanyaan di atas, skizofrenia itu penyakit apa sih?

Skizofrenia adalah penyakit gangguan jiwa berat berupa hilangnya kontak dengan kenyataan dan sulit membedakan hal yang nyata dan yang tidak.

Skizofrenia sering terjadi di Indonesia.

Skizofrenia ditandai dengan karakteristik kekacauan pola berpikir, proses persepsi, afeksi, dan perilaku sosial.

Biasanya pasien dengan skizofrenia menunjukkan gejala halusinasi dan delusi, penarikan diri dari lingkungan sosial, pengabaian diri, dan kehilangan motivasi.

Skizofrenia adalah gangguan mental yang harus dilakuakn pemeriksaan dan perawatan oleh dokter spesialis kejiwaan atau psikiater.

Seorang pernderita skizofrenia bisa mengalami gangguan aktivitas sehari-hari, seperti penurunan produktivitas kerja dan prestasi sekolah.

Menurut Psikoislamedia Jurnal Psikologi, gejala utama yang muncul pada penderita skizofrenia adalah 4A, yaitu asosiasi, afek, ambivalensi, dan autisme.

Asosiasi adalah hubungan antara pikiran-pikiran menjadi terganggu atau asosiasi longgar.

Afek adalah respon emosional yang menjadi datar atau tidak sesuai.

Ambivalensi adalah individu yang merasakan ambivalen, yaitu benci sekaligus cinta, contohnya kepada pasangan.

Terakhir adalah autisme, yaitu penarikan diri ke dunia fantasi yang tidak terikat oleh prinsip logika.

Pasien dengan kondisi ini seringpula disertai gejala seperti terobsesi dengan kematian, sekarat, atau kekerasan.

Lalu, ia juga bisa merasa putus asa dan sering mengucapkan perpisahan yang tidak biasa.

Selain itu, pasien juga sering merasakan delusi, atau kondisi dimana ia memiliki keyakinan yang tidak masuk akal.

Misalnya ia memiliki keyakinan bahwa orang lain bisa membaca pikiran mereka, ada yang mengendalikan pikirang mereka, dan orang lain berencana menyakiti mereka.

Penderita gejala berat ditandai dengan sulit membedakan alam nyata dan bayangan semata.

Dia terjebak dalam fantasinya sendiri dan sering marah atau mengamuk kepada orang sekitar.

Secara umum, skizofrenia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu disorganisasi, katatonik, dan paranoid.

Tipe pertama adalah disorganisasi.

Penderita skizofrenia tipe ini menunjukkan perilaku yang kacau, pembicaraan tidak berhubungan atau tidak terorganisasi.

Tipe kedua adalah katatonik yang merupakan fase perlambatan aktivitas.

Sedangkan yang terakhir adalah paraoid.

Tipe ini sering mengalami munculnya halusinasi yang menyebabkan munculnya kegelisahan atau ketakutan.

Penderita tipe paranoid akan merasakan kebesaran, kecemburuan, kegelisahan, dan kebingungan yang tidak realistis.

Mereka bisa berhalusinasi mendengar suara-suara yang tidak di dengar oleh orang lain.

Terapi bagi penderita skizofrenia harus didampingi oleh psiakiater.

Selain ditunjang obat-obatan, penting untuk pasien agar didukung oleh lingkungan sekitar, terutama keluarga dan teman dekat.

Stigma yang beredar di masyarakat adalah bahwa penderita tidak akan bisa hidup normal.

Padahal, walau penderita bisa menakutkan, ia tetap bisa memiliki kualitas hidup yang baik.

Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2017 menunjukkan bahwa pasien skizofrenia yang mendapat dukungan keluarga dan orang-orang terdekat menunjukkan kondisi yang lebih stabil dan dapat berkomunikasi dengan normal.

Pasien yang telah sembuh tetap perlu didampingi karena angka relaps atau kekambuhan pada kasus skizofrenia mencapai 20-50%.

Peran keluarga pascaperawatan sangat penting untuk mengembalikan kemampuan sosial pasien.

Begitulah jawaban dari pertanyaan seputar skizofrenia adalah penyakit yang seperti apa, terkait kasus ibu bunuh anak kandungnya di Bekasi, semoga mencerahkan.

Artikel Terkait