Sri Mulyani Mengaku Takut Didatangi Keturunan Daendels, Seseram Apa Sih Gubernur Jenderal Hindia Belanda Itu?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sri Mulyani berkelakar mengaku takut didatangi keturunan Daendels, terkait Istana Negara yang ketika itu belum punya sertifikat.
Sri Mulyani berkelakar mengaku takut didatangi keturunan Daendels, terkait Istana Negara yang ketika itu belum punya sertifikat.

Intisari-Online.com -Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani resah soalnya masih banyak aset negara yang belum punya sertifikat.

Bahkan, menurutnya, Istana Negara saja sempat tidak punya sertifikat, seperti Sri Mulyani sampaikan saat rapar kerja nasional (Rakernas) Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

"Karena Istana waktu itu belum bersertifikat, jadi saya takut kalau keturunannya Daendels datang bilang itu istana punya saya," seloroh Sri Mulyani.

Daendels yang dimaksud di sini tentu saja Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda masa 1808-1811.

Memang seseram apa si Daendels ini?

Berbicara tentang Daendels, rasanya tak bisa dilepaskan dari kerja rodi dan ralan raya pos Anyer-Panarukan.

Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang kejam dan bersikap diktator.

Karena itulah diadijuluki jenderal Mas Galak.

Daendels adalah politikus Belanda yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda sekitar tahun 1808-1811.

Tugas Herman Willem Daendels di Indonesia adalah mempertahankan Pulau Jawa dari ancaman Inggris.

Saat menjalankan tugas, ia memerintah Indonesia dengan sistem kediktatoran dan dikenal kerap menerapkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Kerja rodi

Masa pemerintahan Herman Willem Daendels di Indonesia memang tidak berlangsung lama, yaitu hanya tiga tahun.

Namun selama tiga tahun tersebut, Daendels sudah cukup menyengsarakan rakyat dengan kebijakan-kebijakan dan sikap kepemimpinannya yang otoriter.

Daendels dipandang sebagai sosok diktator yang kerap memaksakan kehendak, baik kepada penduduk lokal maupun teman-teman sebangsanya.

Salah satu kebijakan Daendels yang sangat menyiksa rakyat adalah kerja rodi atau kerja paksa.

Selama berada di Indonesia, salah satu tugas Daendels adalah mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.

Adapun usaha yang dilakukan Daendels adalah dengan membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.

Selain itu, ia juga membangun jalan raya dari Anyer ke Panarukan dan mendirikan benteng-benteng pertahanan.

Semua usaha yang dilakukan oleh Daendels dilaksanakan dengan kerja rodi atau kerja paksa.

Tidak hanya itu, Daendels juga mengumpulkan uang dari rakyat dengan cara menjual hasil bumi dengan harga sangat murah.

Puncak kesalahan yang dibuat Daendels adalah ketika ia menjual tanah kepada pihak swasta dan hasilnya digunakan untuk memperkaya dirinya sendiri alias korupsi.

Padahal, Daendels selalu memberi humuman berat bagi siapa pun yang melakukan tindak korupsi.

Lebih lanjut, Daendels juga dianggap gagal melaksanakan tugasnya karena program yang ia jalankan dinilai merugikan Belanda karena korupsi yang semakin membesar.

Akhirnya, Raja Belanda Louis Napoleon memanggil Daendels kembali ke Belanda karena ia telah bertindak kejam dan seenaknya, serta melakukan tindak korupsi.

Kedudukan Daendels pun digantikan oleh Jan Willem Janssen yang bertugas memperbaiki keadaan di Nusantara.

Akibat kekejaman dan kediktatorannya tersebut, Herman Willem Daendels dijuluki sebagai Mas Galak.

Memangnya Istana Negara dibangun Daendels?

Mengutip laman Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Istana Negara pada awalnya merupakan kediaman pribadi seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Belanda, J A van Braam.

Braam membangun kediaman ini selama 8 tahun yaitu mulai Tahun 1796 (masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten) hingga Tahun 1804 (pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg).

Namun, Tahun 1816, bangunan ini diambil alih oleh Pemerintah Hindia-Belanda yang diperuntukkan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda.

Oleh karena itu pula, Istana Negara tempo dulu dijuluki “Hotel Gubernur Jenderal" atau Hotel van den Gouverneur-Generaal.

Di samping untuk penginapan Gubernur Jenderal, gedung bekas rumah Braam ini juga menampung sekretariat umum pemerintahan.

Kantor-kantor sekretariat itu terletak di bagian bangunan yang menghadap ke gang.

Kemudian, gang itu diberi nama Gang Secretarie.

Awalnya, Istana Negara merupakan bangunan bertingkat dua.

Namun, tingkat atas bangunan diruntuhkan.

Sementara itu, bagian depan Istana Negara diperlebar untuk menampilkan wajah lebih resmi sesuai dengan sosok yang menempatinya.

Di kiri dan kanan gedung utama dibangun tempat penginapan untuk para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal.

Seiring berjalannya waktu, gedung itu kemudian tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin meningkat.

Tahun 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun sebuah "hotel“ baru di belakang “Hotel Gubernur Jenderal“ atau disebut juga Istana Rijswik (Istana Negara).

Seorang Arsitek Jacobus Bartholomeus Drossaers dipercaya merancang gedung baru yang kelak bernama Istana Merdeka.

Gagasan itu baru terwujud sepuluh tahun kemudian.

Sementara itu, bangunan lama yang menghadap ke Rijswijk akhirnya diperluas.

Banyak peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara tatkala Jenderal de Kock menguraikan rencana untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen.

Artikel Terkait