Intisari-Online.com -Apakah Anda tahu bahwa Sultan Yogyakarta memiliki sejarah panjang sebagai "jembatan" atau "penengah" dalam politik nasional?
Tidak hanya Sultan HB X yang saat ini diminta Presiden Jokowi untuk menjembatani pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri, tetapi juga Sultan HB II yang dua abad silam pernah punya "tugas" serupa.
Bagaimana kisahnya? Simak artikel ini untuk mengetahui lebih lanjut.
Sultan HB X Diminta Jadi 'Jembatan' Jokowi-Megawati
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), untuk memfasilitasi pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P.
Hal ini diungkapkan oleh Connie Rahakundini Bakrie, seorang pengamat militer.
Sultan mengakui kebenaran kabar tersebut saat ditanya.
"Betul, tapi saya kan nunggu presiden. Saya akan menjembatani. Terserah presiden itu (waktunya). Saya nunggu. Kalau memerlukan saya bersedia," kata Sultan ketika berada di Kompleks Kepatihan, Senin (12/2/2024).
Sultan menambahkan bahwa dirinya tidak aktif dalam hal ini. Jika Presiden Jokowi menginginkan, maka dirinya akan beraksi.
"Ya berarti bukan ambil inisiatif. Yang ambil inisiatif Bapak Presiden. Kalau mau ketemu Mbak Mega saya fasilitasi. Kalau bisa ketemu sendiri ya syukur, kalau saya sifatnya pasif," ucapnya.
Baca Juga: Sempat Pindah Dari Jakarta Ke Yogyakarta, Inilah Sejarah Museum Dirgantara
Sultan menyatakan jika tidak ada petunjuk dari Presiden Jokowi maka dirinya tidak akan melakukan apa-apa.
"Kalau presiden gak ngomong 'tolong diantar', kalo gak (meminta) ya enggak to. Saya kan pasif bukan ngoyak-ngoyak (mengejar)," ujarnya.
Kala Sultan HB II Jadi 'Jembatan' Belanda-Pangeran Diponegoro
Sultan Yogyakarta lainnya juga pernah merasakan peran sebagai "jembatan" atau "penengah".
Sultan tersebut adalah Sri Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan HB II.
Dia diangkat oleh Belanda untuk menjadi perantara dengan Pangeran Diponegoro pada masa kepemimpinannya yang ketiga.
Inilah ceritanya.
Sri Sultan Hamengku Buwono II terkenal sebagai sosok yang anti-Belanda, sejak awal ia naik takhta pada tanggal 2 April 1792.
HB II menentang keras tuntutan wakil VOC yang menginginkan posisi duduknya sejajar dengan sultan di setiap pertemuan.
HB II juga mengabaikan VOC dan menunjuk sendiri patihnya untuk mengganti Danurejo I yang wafat pada Agustus 1799.
Pada 14 Januari 1808, Herman Willem Daendels ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah kekuasaan Perancis.
Baca Juga: Inilah Sosok Dokter Mueen, Dokter Palestina Lulusan UNS Solo Yang Tewas Dibom Israel
Daendels mengubah secara radikal status semua kerajaan di bekas wilayah VOC menjadi bawahan dari Kerajaan Belanda.
Karena itu, dia memerintahkan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda.
Daendels juga memberlakukan aturan bahwa hak pengelolaan hutan harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.
HB II menolak semua perubahan tersebut dengan tegas.
Suatu hari, Daendels datang ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 pasukan untuk memaksa HB II.
HB II akhirnya harus turun takhta, dan posisinya digantikan oleh putranya, Raden Mas Surojo, yang kemudian diberi gelar Hamengkubuwono III.
HB III yang dibantu naik menjadi raja Mataram harus menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang tidak adil.
Namun, perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 itu tidak sempat berlaku.
Sebab, Inggris datang dan mengusir Belanda.
HB II memanfaatkan kesempatan ini untuk merebut kembali takhtanya.
Saat itu, ia menurunkan status Sri Sultan Hamengku Buwono III yang sebelumnya sempat menjadi Raja Yogyakarta, kembali ke posisi awalnya, yaitu Putra Mahkota.
Di bawah komando Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserbu oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812.
Akibat serbuan itu, Keraton Yogyakarta dikuasai Inggris.
Harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dirampas.
Sri Sultan Hamengku Buwono Il ditangkap, kemudian dibuang ke Pulau Pinang sampai tahun 1815.
Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak lama kembali dari pengasingan ke Pulau Jawa pada tahun 1815.
Setelah jajahan Belanda diserahkan kembali oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membicarakan posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar.
Maka pada 10 Januari 1817, HB II dibuang ke Ambon.
Selama waktu itu, Yogyakarta mengalami kondisi tidak stabil.
HB III meninggal dunia, kemudian digantikan oleh putranya yang kemudian menjadi HB IV.
HB IV tidak lama bertakhta, kemudian meninggal dunia.
Ia kemudian digantikan oleh putranya yang masih sangat muda, HB V.
Pada masa HB V itulah terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro.
Untuk melunakkan hati Pangeran Diponegoro, Belanda memanggil kembali HB II yang saat itu sudah menjadi Sultan Sepuh.
Sri Sultan Hamengku Buwono II naik takhta untuk yang ketiga kalinya
Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali diangkat menjadi Raja Yogyakarta, untuk yang ketiga kalinya, pada tanggal 20 September 1826.
Tapi sayang, tidak lama kemudian, HB II meninggal dunia, tepatnya pada 3 Januari 1828.
HB II dimakamkan di Kotagede.
Dari kisah Sultan HB II, kita dapat melihat bahwa peran Sultan Yogyakarta sebagai "jembatan" atau "penengah" bukanlah hal baru.
Ini merupakan bagian dari tradisi dan tanggung jawab yang diemban oleh Sultan Yogyakarta sebagai pemimpin dan tokoh nasional.
Apakah Sultan HB X akan berhasil menjalankan "tugas" yang diberikan oleh Presiden Jokowi? Kita tunggu saja perkembangannya.
Baca Juga: Peristiwa Heroik di Yogyakarta Dalam Mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia