Kemudian, pihak pemerintah militer Jepang di Yogyakarta membubarkan Peta dan Heiho serta mengambil senjatanya, untuk mencegah adanya pemberontakan.
Jepang juga tetap mengendalikan perusahaan-perusahaan dan memberi perintah, seakan-akan masih berkuasa.
Rakyat Yogyakarta tentu tidak menerima sikap Jepang, dan memutuskan untuk melakukan pemberontakan.
Inilah yang menjadi latar belakang pengambilalihan kekuasaan Jepang di Yogyakarta.
Selanjutnya, melansir Kompas.com, perebutan kekuasaan dimulai pada 21 September 1945, ditandai dengan peristiwa penurunan bendera Jepang dan penaikan bendera Merah putih di gedung Tjokan Kantai (sekarang Gedung Agung).
Peristiwa ini membuat pemerintah Jepang menjadi resah, apalagi ada dukungan dari PI (Polisi Istimewa).
Tindakan selanjutnya adalah aksi mogok yang dilakukan oleh pegawai di Yogyakarta pada tanggal 26 September 1945, khususnya mereka yang bekerja di instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai Jepang.
Jepang terpaksa menyerahkan semua kantor yang mereka pegang kepada orang Indonesia.
Sehari kemudian, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan daerah sudah dipegang oleh pemerintah Indonesia.
Lalu, pada 5 Oktober 1945, Gedung Cokan Kantai yang dipegang oleh Jepang berhasil direbut dan dijadikan kantor Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).
Setelah merebut gedung Cokan Kantai, masyarakat Yogyakarta berkeinginan untuk merebut senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru.
KOMENTAR