Intisari-online.com -De Javasche Bank (DJB) adalah bank sirkulasi pertama di Asia yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 24 Januari 1828.
DJB memiliki peran ganda sebagai bank sirkulasi yang menerbitkan dan mengedarkan mata uang Gulden, dan sebagai bank komersial yang memberikan layanan keuangan secara umum.
DJB juga mendukung kebijakan finansial dari sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Belanda untuk mengisi kas yang terkuras oleh perang Jawa.
DJB mendapatkan hak ekslusif (octrooi) dari Raja William I untuk mendirikan bank di nusantara sebagai tindak lanjut untuk mengatasi perekonomian Hindia Belanda setelah kebangkrutan VOC.
Octrooi ini diperpanjang setiap satu dekade hingga tujuh kali.
DJB juga berhasil merampungkan permasalahan keuangan dan menerapkan standar nilai tukar emas.
DJB memperkenalkan sistem kliring di Batavia, yang kemudian diikuti oleh enam bank ternama lainnya.
DJB berekspansi dengan membuka kantor cabang di berbagai kota di Jawa dan luar Jawa, seperti Semarang, Surabaya, Padang, Makassar, Cirebon, Solo, Pasuruan, Yogyakarta, Pontianak, Bengkalis, Medan, Banjarmasin, Tanjungbalai, Tanjungpura, Bandung, Palembang, Manado, Malang, Kutaraja, Kediri, Pematang Siantar, dan Madiun.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Belanda masih berupaya untuk mempertahankan kekuasaan di Indonesia, dan tetap mengoperasikan DJB melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Namun, Indonesia menginginkan pemerintahan yang dikelola sendiri oleh negara dan meninggalkan jejak-jejak kolonialisme.
Sesuai dengan mandat UUD 1945 pasal 23, Indonesia perlu mendirikan bank sentral untuk mengeluarkan dan mengatur uang kertas.
Pemerintah Indonesia kemudian menugaskan Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Republik Indonesia (BRI) untuk menjadi bank sirkulasi yang menerbitkan dan mengedarkan mata uang Indonesia yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI).
ORI menggantikan peran mata uang Hindia Belanda sebagai alat pembayaran resmi di Indonesia.
Selain itu, timbul juga desakan dari kalangan pengusaha dan elit di Batavia untuk menasionalisasi DJB. Hal ini ditujukan untuk kepentingan bisnis mereka dan untuk memajukan pengusaha pribumi.
Tokoh yang pertama kali menyampaikan gagasan nasionalisasi DJB adalah Mr. Jusuf Wibisono, menteri Keuangan Kabinet Sukiman.
Pernyataan ini menyebabkan Presiden DJB, Dr A. Houwink, mengundurkan diri.
Pemerintah Indonesia kemudian membentuk panitia nasionalisasi DJB pada 19 Juni 1951.
Panitia ini bertugas untuk menyiapkan rancangan undang-undang tentang nasionalisasi DJB.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya pada 1 Juli 1953, DJB resmi dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia.
Bank Indonesia menjadi bank sentral yang bertanggung jawab untuk mengatur kebijakan moneter, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.