Bahasa Melayu juga menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah dasar yang didirikan oleh pemerintah kolonial, yang bertujuan untuk mengajarkan keterampilan dasar kepada anak-anak pribumi.
Pemerintah kolonial memilih bahasa Melayu Riau sebagai bahasa Melayu standar, yang dianggap sebagai bahasa Melayu yang paling murni dan baku.
Bahasa Melayu Riau juga menjadi bahasa resmi Balai Pustaka, lembaga penerbitan yang didirikan oleh pemerintah kolonial untuk mengawasi dan mengatur karya-karya sastra pribumi.
Pada awal abad ke-20, muncul gerakan nasionalisme di kalangan pemuda-pemudi pribumi, yang menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Gerakan ini juga menimbulkan kesadaran akan pentingnya memiliki bahasa persatuan yang dapat
menyatukan seluruh bangsa Indonesia. Bahasa Melayu menjadi pilihan yang paling tepat, karena sudah dikenal dan dipahami oleh banyak orang di Nusantara.
Namun, bahasa Melayu juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan bangsa Indonesia, yang berbeda dengan bangsa Melayu di Semenanjung Malaya.
Pada tahun 1928, diadakan Kongres Pemuda Kedua di Jakarta, yang dihadiri oleh berbagai organisasi pemuda dari seluruh Nusantara.
Pada kongres ini, diambil keputusan yang bersejarah, yaitu Sumpah Pemuda, yang berisi tiga butir sumpah, yaitu:
1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Baca Juga: Bukti Pada Masa Pemerintahan Raja Asmawarman Wilayah Kekuasaan Kerajaan Kutai Diperluas
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR