Keruntuhan Kerajaan Kutai Martadipura, Akhir dari Kekuasaan Islam di Kalimantan Timur

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Kerajaan Kutai Martadipura.
Ilustrasi - Kerajaan Kutai Martadipura.

Intisari-online.com - Kerajaan Kutai Martadipura, yang berdiri megah di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, adalah salah satu kerajaan tertua di Nusantara.

Didirikan oleh Maharaja Kudungga pada abad ke-3 atau sekitar tahun 400 Masehi, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Maharaja Mulawarman pada abad ke-4.

Pada masa itu, Kutai Martadipura dikenal sebagai pusat perdagangan yang strategis, dengan saudagar dari India dan Cina sering singgah di wilayah ini.

Ekonomi kerajaan berkembang pesat, didukung oleh sektor pertanian dan perdagangan yang kuat.

Namun, kejayaan tidak bertahan selamanya.

Pada abad ke-16, perselisihan antara Kerajaan Kutai Martadipura yang menganut ajaran Hindu dan Kesultanan Kutai Kartanegara yang sudah memeluk Islam mulai muncul.

Konflik ini berujung pada peperangan yang menentukan nasib kedua kerajaan.

Kerajaan Kutai Martadipura mengalami keruntuhan pada masa pemerintahan Maharaja Dharma Setia, raja terakhirnya.

Perebutan kekuasaan dengan Kutai Kartanegara, yang dipimpin oleh Aji Pangeran Anum Panji Mendapa, menjadi faktor utama keruntuhan kerajaan.

Kutai Kartanegara berhasil memenangkan peperangan dan menguasai wilayah Kutai Martadipura, mengakhiri era kekuasaan Hindu di Kalimantan Timur dan memulai babak baru dalam sejarah wilayah tersebut.

Seiring berjalannya waktu, pengaruh Kesultanan Kutai Kartanegara semakin menguat.

Baca Juga: Sejarah Kerajaan Islam di Jawa, Dari Demak Hingga Mataram

Pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, kesultanan ini mencapai puncak kejayaannya.

Sultan Aji Muhammad Idris dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan memiliki visi untuk memajukan wilayahnya.

Di bawah kepemimpinannya, Kutai Kartanegara mengalami kemajuan di berbagai bidang, termasuk perdagangan, pertanian, dan penyebaran agama Islam.

Namun, kejayaan ini tidak luput dari ancaman penjajah.

Pada awal abad ke-19, kehadiran Belanda di Nusantara mulai menimbulkan tekanan pada kerajaan-kerajaan lokal.

Kutai Kartanegara, yang telah menggantikan Kutai Martadipura, juga tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme.

Belanda melihat kesultanan ini sebagai ancaman terhadap kepentingan mereka di Kalimantan dan mulai melakukan intervensi politik serta militer.

Pada tahun 1844, Sultan Aji Muhammad Salehuddin II terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda yang mengakibatkan kerajaan kehilangan sebagian besar kedaulatannya.

Perjanjian ini membatasi kekuasaan sultan dan memberikan Belanda kontrol atas perdagangan dan sumber daya alam di wilayah tersebut.

Meskipun demikian, semangat dan keberanian rakyat Kutai Kartanegara tidak pernah padam.

Mereka terus berjuang melawan penjajahan dan berusaha mempertahankan identitas serta warisan budaya mereka.

Baca Juga: Penjelasan Penyebab Perang Saudara yang Terjadi di Kerajaan Demak

Kisah perjuangan ini menjadi bagian penting dari sejarah Kalimantan Timur dan Indonesia secara keseluruhan.

Keruntuhan Kerajaan Kutai Martadipura dan perjuangan Kesultanan Kutai Kartanegara melawan penjajah mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan dan ketahanan dalam menghadapi tantangan.

Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kedaulatan dan kebebasan bangsa.

Artikel Terkait