Gunung Slamet Naik Status, Warga Sekitar Pun Gelar Tradisi Memasak Oseng Pepaya Muda Untuk Minta Keselamatan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sebagai respon atas naiknya aktivitas Gunung Slamet, masyarakat di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar tradisi masak oseng pepaya muda.
Sebagai respon atas naiknya aktivitas Gunung Slamet, masyarakat di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar tradisi masak oseng pepaya muda.

Sebagai respon atas naiknya aktivitas Gunung Slamet, masyarakat di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar tradisi masak oseng pepaya muda.

Intisari-Online.com -Saat ini status Gunung Slamet naik statusnya, naik dari level I (normal) menjadi level II (waspada).

Karena itulah, puluhanwarga RT 1 RW II, Desa Kedungmalang, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menggelar doa bersama, Jumat (3/11).

Doa bersama ini untuk meminta keselamatan karena aktivitas Gunung Slamet naik.

Dalam acara ini juga digelar tradisi unik, yaitu makan bersama dengan lauk oseng pepaya muda atau yang dimasak oleh warga setempat.

Acara diawali dengan doa bersama yang diikuti anak-anak hingga orangtua.

Kemudian dilanjutkan makan bersama dengan menu utama oseng pepaya.

Salah satu warga, Sukinah mengatakan, tradisi memasak pepaya atau disebut juga gandul merupakan tradisi turun-temurun ketika aktivitas Gunung Slamet meningkat.

"Ini sudah tradisi turun-temurun, kalau aktivitas Gunung Slamet meningkat katanya harus bikin selamatan dengan lauk oseng gandul atau pepaya," kata Sukinah di sela acara, Jumat malam.

Kaur Pemerintahan Desa Kedungmalang, Sunar Budiyanto mengatakan, tradisi yang biasa disebut "gandulan" ini biasa dilakukan warga di lereng selatan Gunung Slamet.

"Agar kita dijauhkan dari mara bahaya ada tradisi gandulan yaitu membuat oseng pepaya muda," ujar Sunar.

Menurut Sunar, saat ini mungkin banyak yang menganggap tradisi ini tidak masuk akal.

Namun warga setempat tepat nguri-uri tradisi para leluhur ini.

Seperti diketahui, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meningkatkan status Gunung Slamet dari level normal menjadi level waspada sejak Kamis (19/10/2023) pukul 08.00 WIB.

Selalu 'batuk' jelang Pemilu

Gunung Slamet ternyata punya tabiat yang unik.

Ia, gunung tertinggi di Jawa Tengah itu, disebut selalu "batuk" saat menjelang Pemilu.

Diketahui sebelumnya, Gunung Slamet mengalami kenaikan aktivitas sejak pertengahan Oktober lalu.

Hal ini menjadi perhatian masyarakat di lima kabupaten yang berada di lereng Gunung Slamet yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes.

Catatan sejarah letusan Gunung Slamet menurut data yang dilansir dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terekam mulai tahun 1772.

Lebih lanjut, pada data di laman vsi.esdm.go.id, letusan Gunung Slamet yang juga menghasilkan aliran lava dan hujan abu terjadi kembali pada 1930, 1932, 1953, 1955, , 1958, 1973, dan 1988.

Selain itu, gunung ini hanya menunjukkan peningkatan aktivitas yang diikuti dengan semburan abu, dentuman suara, dan peningkatan kegempaan.

Tapi sejauh ini, Gunung Slamet belum pernah tercatat mengalami letusan dahsyat sejak abad ke-19.

Jika melihat jejak geologinya, ahli geologi menyebut bahwa Gunung Slamet pernah meletus dahsyat dan diprediksi letusan tersebut akan kembali terulang.

Dilansir dari laman Antara (13/04/2020), potensi letusan bessar Gunung Slamet ini seperti diungkap oleh Ahli Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Agung Harijoko dalam diskusi daring Memahami Aktivitas Gunungapi Busur Sunda dalam rangka ulang tahun ke-60 Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) di Jakarta, pada Senin (13/04/2020).

Pada kesempatan itu, Agung mengatakan bahwa ada potensi Gunung Slamet di Jawa Tengah mengalami letusan cukup besar di masa mendatang.

"Dari peta PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) itu ada sampai daerah KRB (Kawasan Rawan Bencana) 3, itu masuk ke arah Guci," kata Agung.

Namun demikian, Agung juga mengungkap bahwa ia belum dapat memperkirakan kapan dan seberapa dahsyat letusan tersebut kemungkinan terjadi.

Lebih lanjut, dilihat dari peta letusan yang mengarah ke Guci, Agung menemukan ada endapan awan panas yang cukup tebal yang secara materi disebut scoria, atau dalam ilmu geologi disebut sebagai aliran scoria.

"Di Guci sendiri saya menemukan sampai tujuh lapisan awan panas, sehingga sebenarnya ada letusan yang menghasilkan awan panas yang alirannya mencapai Guci, dan itu tidak hanya sekali tetapi sampai tujuh kali," jelasnya.

Oleh karena itu, Agung menduga tentang kemungkinan adanya perulangan erupsi yang cukup besar di masa mendatang.

"Jadi dari letusan Gunung Slamet yang terekam di Lembah Guci itu ada letusan besar. Cuma kita tidak tahu perulangannya berapa lama lagi, berapa tahun lagi. Tapi potensi akan ada letusan besar di Slamet itu ada kalau melihat sejarah erupsi masa lalunya," katanya.

Selain mengenai sejarah dan potensi letusan besar, ada pula pendapat ahli yang menjawab anggapan tentang peningkatan aktivitas Gunung Slamet terkait dengan siklus lima tahunan.

Dilansir dari laman banyumas.tribunnews.com (19/10/2023), terkait siklus lima tahunan Gunung Slamet, Dosen Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Yogi Adi Prasetya, S.T., M.Sc memberikan penjelasannya.

Menurut Yogi, Gunung Slamet tergolong gunung api yang tenang dan seperti Gunung Merapi yang aktif.

Dia juga mengatakan bahwa terkait adanya siklus lima tahunan Gunung Slamet, setiap gunung memiliki siklusnya sendiri.

"Gunung Slamet erupsinya tidak besar. Paling parah pernah sampai 4 kilometer dan warga harus dikosongkan," jelasnya.

Yogi menuturkan sebenarnya semua daerah sekitar Gunung Slamet bisa terkena potensi bahaya erupsi.

"Bisa ke arah Pemalang atau Banyumas,” sebutnya.

Adapun menurutnya, jenis erupsi Gunung Slamet adalah Strombolian yang aliran lava pijar saja.

“Pernah ke Selatan dan utara, belum pernah sampai menghasilkan wedus gembel. Cuma memang dulu pernah hujan abu sampai Baturraden saat Level Siaga," ungkapnya.

Dilansir Antara (19/10/2023), Sukedi, salah seorang tokoh masyarakat Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, yang juga mantan Kepala Pos PGA Slamet di Gambuhan memiliki pandangan berbeda terkait siklus lima tahunan Gunung Slamet.

Sosok pria yang sudah pensiun dari masa tugasnya setelah 38 tahun bertugas di Pos PGA Slamet Gambuhan itu memang terkadang masih ikut mengamati aktivitas Gunung Slamet.

Sukedi menyebut bahwa ia paham jika peningkatan aktivitas Gunung Slamet terjadi hampir setiap lima tahun sekali.

Bahkan oleh masyarakat setempat, hal ini kerap dikaitkan dengan momentum pemilihan umum, karena siklus aktivitas Gunung Slamet terjadi setiap menjelang pemilu.

Siklus lima tahunan itu terlihat dari catatan aktivitas Gunung Slamet selama 20 tahun terakhir.

Peningkatan aktivitas Gunung Slamet tercatat pernah terjadi pada tahun 2004-2005, 2008-2009, 2014-2014, 2018-2019, dan pada bulan Oktober 2023 dinaikkan dari Level I (Normal) menjadi Level II (Waspada).

Jauh sebelumnya, pada tahun 1987-1988, Gunung Slamet juga mengeluarkan suara dentuman.

Hal ini juga terjadi pada tahun 2014 saat tingkat aktivitasnya dinaikkan ke Level III.

Sementara pada bulan Maret-Agustus 2014, peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Slamet diikuti erupsi yang menghasilkan material abu dan lontaran material pijar di sekitar kawah (tipe letusan strombolian).

Bahkan, suara dentuman tersebut dilaporkan terdengar hingga wilayah Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.

Artikel Terkait