Intisari-online.com -Pangeran Tamjidillah adalah salah satu tokoh sejarah yang kontroversial di Kalimantan Selatan.
Ia adalah putra tidak sah dari Sultan Adam, raja Kesultanan Banjar yang terakhir.
Ia lahir dari hubungan Sultan Adam dengan seorang selir bernama Nyai Siti Aminah.
Ia tidak diakui sebagai putra mahkota oleh ayahnya, karena Sultan Adam sudah memiliki putra sah dari permaisuri, yaitu Pangeran Antasari.
Pada tahun 1859, terjadi pemberontakan rakyat Banjar melawan penjajahan Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Antasari.
Pemberontakan ini mendapat dukungan dari rakyat dan para bangsawan Banjar, termasuk Pangeran Hidayatullah, adik tiri Pangeran Tamjidillah.
Namun, Pangeran Tamjidillah tidak ikut berjuang bersama saudara-saudaranya.
Ia malah memihak kepada Belanda dan memberikan konsesi batu bara di wilayah Banjar kepada pihak penjajah.
Konsesi batu bara ini sangat menguntungkan bagi Belanda, karena batu bara merupakan sumber energi penting untuk menggerakkan mesin-mesin industri dan transportasi pada masa itu.
Belanda mendapatkan hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi batu bara di Banjar selama 75 tahun dengan membayar pajak sebesar 10% dari hasil penjualan.
Konsesi ini juga memungkinkan Belanda untuk membangun infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, dan pelabuhan di Banjar untuk mempermudah pengangkutan batu bara.
Baca Juga: Hamengkubuwono IX dan Pakubuwono XII, Sosok Dua Raja Jawa yang Menjadi Panglima Besar T.K.R
Pemberian konsesi batu bara oleh Pangeran Tamjidillah kepada Belanda merupakan pengkhianatan terhadap Kesultanan Banjar dan perjuangan rakyatnya.
Ia dianggap sebagai pangeran yang tidak berjiwa nasionalis dan hanya mementingkan kepentingan pribadi.
Kemudian juga dianggap sebagai pangeran yang tidak memiliki legitimasi sebagai pewaris tahta, karena ia adalah putra tidak sah dari Sultan Adam.
Akibat pengkhianatannya, Pangeran Tamjidillah ditolak oleh rakyat Banjar.
Ia tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat dan para bangsawan Banjar.
Dia hanya mendapatkan perlindungan dari Belanda, yang mengangkatnya sebagai Sultan Banjar versi mereka pada tahun 1860.
Namun, gelar sultan ini tidak diakui oleh rakyat Banjar, yang tetap menganggap Pangeran Antasari sebagai sultan yang sah.
Pangeran Tamjidillah akhirnya meninggal pada tahun 1865 di Martapura, ibu kota Kesultanan Banjar versi Belanda.
Ia dimakamkan di sana dengan upacara keagamaan yang sederhana.
Bahkan tidak mendapatkan penghormatan layaknya seorang sultan dari rakyatnya.
Ia hanya diingat sebagai pangeran yang kontroversial dan berkhianat kepada tanah airnya.