Intisari-online.com - Perang Aceh adalah salah satu perang terpanjang dan terberat yang pernah dialami oleh Belanda dalam usahanya untuk menguasai wilayah Indonesia.
Perang ini berlangsung selama lebih dari 30 tahun, dari tahun 1873 hingga 1904, dengan beberapa kali gencatan senjata dan perjanjian damai yang tidak bertahan lama.
Perlawanan rakyat Aceh yang gigih dan berani membuat Belanda harus mengeluarkan banyak tenaga, biaya, dan korban jiwa untuk menaklukkan daerah tersebut.
Salah satu faktor yang membuat perang Aceh sulit diselesaikan adalah strategi gerilya yang diterapkan oleh para pejuang Aceh.
Mereka tidak menghadapi pasukan Belanda secara frontal, melainkan melakukan serangan-serangan mendadak dari berbagai arah, terutama dari pegunungan dan hutan-hutan.
Mereka juga memanfaatkan keadaan alam yang sulit dan tidak dikenal oleh pasukan Belanda, serta dukungan rakyat yang setia dan bersedia membantu mereka.
Untuk mengatasi strategi gerilya Aceh, Belanda kemudian membentuk sebuah pasukan khusus yang disebut Korps Marechaussee te Voet, atau Marsose dalam bahasa Indonesia.
Pasukan ini dibentuk pada tahun 1890 oleh Jenderal G.G.J. Notten, sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh.
Baca Juga: Perang Bali I, Penyebab dan Dampak Runtuhnya Kerajaan Buleleng
Pasukan ini terdiri dari orang-orang pribumi yang direkrut dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain.
Mereka dilatih secara khusus untuk menjadi pasukan kontra-gerilya yang tangguh, gesit, dan efektif.
Pasukan Marsose memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pasukan reguler KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
Pertama, mereka lebih mobile dan tidak bergantung pada suplai logistik atau angkutan militer.
Mereka dapat bergerak dengan cepat dan jauh dengan hanya membawa bekal seadanya.
Kedua, mereka lebih terbiasa dengan medan perang di Aceh, baik pegunungan, hutan, lembah, maupun desa-desa.
Mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan menggunakan segala sumber daya yang ada untuk bertahan dan bertempur.
Ketiga, mereka lebih mahir dalam menggunakan senjata tajam seperti klewang atau badik daripada senjata api.
Mereka dapat menghabisi lawan-lawan mereka dalam jarak dekat dengan cepat dan diam-diam.
Pasukan Marsose dikenal sebagai pasukan bayaran Belanda karena mereka tidak memiliki ikatan nasionalisme atau loyalitas terhadap bangsa atau tanah air mereka sendiri.
Mereka hanya mengabdi kepada orang yang membayar mereka, yaitu Belanda.
Mereka tidak peduli siapa lawan mereka, baik itu pribumi atau asing.
Yang penting bagi mereka adalah menyelesaikan tugas dan mendapatkan imbalan.
Oleh karena itu, pasukan Marsose sering dianggap sebagai pengkhianat oleh rakyat Indonesia, terutama rakyat Aceh.
Pasukan Marsose berhasil menorehkan beberapa prestasi dalam perang Aceh.
Mereka dapat menguasai daerah-daerah pedalaman yang sebelumnya sulit dijangkau oleh pasukan Belanda.
Mereka juga dapat menemukan dan mengejar para pemimpin gerilya Aceh yang bersembunyi di berbagai tempat.
Salah satu tokoh besar Aceh yang berhasil dikalahkan oleh pasukan Marsose adalah Teuku Umar.
Teuku Umar adalah seorang ulama dan pejuang Aceh yang sangat disegani oleh rakyatnya.
Ia bersama istrinya, Tjoet Nja' Dhien, memimpin perlawanan gerilya melawan Belanda di daerah Meulaboh dan sekitarnya.
Pada tahun 1899, Teuku Umar berhasil mengecoh Belanda dengan pura-pura menyerah dan bergabung dengan mereka.
Ia kemudian memperoleh senjata, amunisi, dan pasukan dari Belanda, yang kemudian ia gunakan untuk kembali melawan mereka.
Baca Juga: Strategi dan Taktik Perang Laut Kerajaan Demak dalam Menghadapi Ancaman Portugis di Malaka
Namun, aksi Teuku Umar tidak berlangsung lama. Pada tahun yang sama, ia tewas dalam pertempuran di Meulaboh akibat serangan mendadak pasukan Marsose yang dipimpin oleh Kapten G.J.W.C.H. Graafland.
Kematian Teuku Umar merupakan pukulan besar bagi perlawanan Aceh dan menjadi kemenangan besar bagi pasukan Marsose.
Pasukan Marsose terus beroperasi di Aceh hingga tahun 1904, ketika perang Aceh secara resmi diakhiri oleh Belanda dengan penandatanganan Perjanjian Damai antara Belanda dan Sultan Aceh.
Namun, pasukan Marsose tidak dibubarkan begitu saja.
Mereka masih digunakan oleh Belanda untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Lombok.
Pasukan Marsose baru dibubarkan pada tahun 1942, ketika Jepang menginvasi Indonesia dan mengalahkan Belanda.
Pasukan Marsose adalah salah satu contoh dari bagaimana Belanda menggunakan strategi divide et impera atau memecah belah untuk menguasai Indonesia.
Dengan merekrut orang-orang pribumi untuk menjadi pasukan bayaran mereka, Belanda dapat mengurangi biaya dan korban jiwa dari pihak mereka sendiri, sekaligus menimbulkan konflik dan permusuhan antara sesama pribumi.
Pasukan Marsose juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh uang dan kekuasaan dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.