Intisari-online.com - Pada 1965, terjadi sebuah gerakan kudeta yang berniat mengubah ideologi negara dari Pancasila menjadi Komunis. Gerakan ini dikenal sebagai G30S/PKI, yang merupakan singkatan dari Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia.
Salah satu aksi mereka adalah menculik dan membantai tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang dianggap sebagai penghalang rencana mereka.
Para perwira tinggi itu adalah Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Suprapto, Jenderal M.T. Haryono, Jenderal Siswondo Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Mayor Jenderal Soeprapto.
Mereka diculik dari rumah masing-masing oleh anggota Resimen Tjakrabirawa, yang merupakan pasukan khusus Presiden Soekarno yang telah disusupi oleh PKI.
Setelah diculik, para perwira tinggi itu dibawa ke sebuah tempat di Kompleks Halim yang disebut Lubang Buaya. Di sana, mereka dibunuh dengan kejam.
Jenazah mereka kemudian dibuang ke dalam sebuah sumur tua yang berada di dekat lokasi pembunuhan.
Dua hari kemudian, pada tanggal 3 Oktober 1965, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto memerintahkan agar jenazah para perwira tinggi itu segera diangkat dan dievakuasi.
Ia mengirimkan Kapten Sukendar dari Kostrad untuk meminta bantuan personel KKO AL (Komando Korps Marinir Angkatan Laut) yang dipimpin oleh Mayjen Hartono.
Dari Pusat Kormar, sebanyak 12 orang personel KKO AL bersama Kapten Sukendar naik truk menuju Lubang Buaya.
Di antara mereka ada dua orang yang bernama Pelda (Purn) Sugimin dan Pelda (Purn) Evert Julius Ven Kandou. Mereka adalah saksi mata yang melihat langsung kondisi jenazah para perwira tinggi itu di sumur tua.
Saat tiba di Lubang Buaya, mereka mendapat perintah untuk turun ke dalam sumur tua dan mengikat kaki jenazah dengan tali untuk ditarik ke atas. Mereka merasakan bau busuk yang sangat menyengat dari jarak 100 meter sebelum masuk ke sumur tua.
“Masker anti huru-hara tembus baunya, dari 100 meter kita masuk sudah terasa bau (busuknya) jenazah,” kata Ven Kandou dalam sebuah wawancara dengan Akun Youtube MTA TV yang berjudul Saksi Hidup G30S PKI - Kisah Pengangkatan Jenazah dari Lubang Buaya.
“Dua hari setelahnya kami tak bisa makan (gara-gara bau itu),” tambahnya.
Mengangkat jenazah pun bukan hal yang mudah. Jenazah para perwira tinggi itu berada dalam posisi terbalik di dalam sumur tua, dengan kaki di atas dan kepala di bawah.
Mereka harus mengikat kaki jenazah dengan tali dan menariknya ke atas dengan hati-hati agar tidak putus. Namun, nasib malang menimpa jenazah Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Sutoyo. Saat ditarik ke atas, talinya putus dan jenazah mereka jatuh lagi ke dalam sumur tua.
“Yang ngenes sekali itu (jenazah) pak Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Sutoyo ketika ditarik ke atas sudah dimulut sumur talinya putus,” kata Ven Kandou.
Ven Kandou juga mengungkapkan rasa sedihnya saat melihat kondisi jenazah para perwira tinggi itu, terutama Jenderal Ahmad Yani. “Sedih, saya melihat pak Yani lehernya disayat hampir putus,” katanya.
Sugimin juga menyatakan bahwa Jenderal Ahmad Yani adalah korban yang paling parah. “Mungkin Pak Yani diberondong tembakan berkali-kali. Pada waktu (jenazah Ahmad Yani) diangkat kotoran dari perutnya keluar (sobek akibat berondongan peluru sebelumnya), jenazah yang lainnya tak ada yang sampai seperti itu,” ujarnya.
Butuh waktu sekitar 2-3 jam bagi tim untuk mengangkat semua jenazah dari sumur tua di Lubang Buaya.
Jenazah para perwira tinggi itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat untuk diidentifikasi dan diotopsi.