Tradisi bakar batu adalah cara masyarakat Papua untuk bersilaturahmi dan bertoleransi terhadap masyarakat lain. Ini juga simbol kerukunan.
Intisari-Online.com -Orang dan masyarakat Papua sangat identik dengan tradisi bakar batu.
Apa itu tradisi bakar batu?
Dikutip dari Kompas.com, tradisi bakar batu adalah cara masyarakat Papua bersilaturahmi dengan yang lain.
Tak hanya babi, dalam pesta bakar batu kiwari juga membakar ayam.
Dalam sejarahnya bakar batu bagi masyarakat pegunungan tengah Papua adalah pesta daging babi.
Tapi sekarang di sejumlah tempat, pesta bakar batu sudah tidak lagi hanya daging babi.
Ada juga daging ayam terutama bagi mereka yang tak bisa makan babi.
Boleh jadi, ini menjadi bukti lain dari tingginya toleransi masyarakat Papua.
Seperti yang dilakukan masyarakat di sebuah distrik yang tak jauh dari Kota Karubaga, Ibu Kota Kabupaten Tolikara.
Sebagian masyarakat sibuk menyiapkan bakar batu sejak pagi hari, sebelum undangan datang.
Ada yang datang membawa kayu, sayuran, rumput, dan batu.
Ada yang menyiapkan lubang, ada yang mulai membakar batu-batu dan ada pula yang memotong babi dan ayam.
Semua berlangsung sangat cepat.
Ketika batu-batu sudah membara di atas kayu yang dibakar, batu dimasukkan ke dalam lubang sedalam kurang lebih 50 cm yang sudah disiapkan dengan alas rumput.
Di atas batu kembali dimasukkan rumput atau sayuran, menyusul daging, betatas, hipere (ubi), pisang juga dimasukkan ke dalamnya.
Jika semua sudah masuk, berbagai makanan tersebut ditutup kembali dengan sayuran dan rumput.
Untuk mengikatnya, mereka menaruh batu-batu di atas tumpukan tesebut.
Sambil menunggu daging matang, di situlah bupati dan para pejabat memberikan pidato dan imbauan.
Ratusan masyarakat yang datang duduk di tanah secara berkelompok sesuai kampung masing-masing.
Mereka mendengar dengan baik pidato bupati dan tokoh masyarakat setempat.
Saat tiba jam makan siang, dan pidato usai, sebagian yang bertugas masak segera membongkar lubang bakar batu.
Mereka mengiris daging yang besar-besar itu menjadi lebih kecil.
Para perwakilan kelompok mendatangi lubang bakar batu.
Mereka dapat jatah untuk masing-masing kelompok.
Pejabat yang datang mendapat antaran pertama bakaran.
Juga para pejabat yang tidak makan babi disuguhi daging ayam hasil bakar batu itu.
Setelah itu baru giliran masyarakat yang hadir. Masyarakat antre rapi dan tidak rebutan.
Masing-masing kelompok mewakilkan salah satu anggotanya untuk mendekat ke lubang bakaran.
Setelah mereka mendapat bagian, wakil ini lari menuju tempat kelompoknya berkumpul.
Kalau masih kurang, mereka kembali lagi ke tempat bakar batu.
Hebatnya, ratusan orang yang datang akan dapat bagian semua.
Bakar batu merupakan tradisi suku Dani di Pegunungan Tengah Papua.
Di Suku Lani disebut lago lakwi, sementaradi Wamena, bakar batu lebih dikenal dengan sebutan kit oba isago, sedangkan di Paniai disebut dengan mogo gapil.
Sementara itu di masyarakat Papua pantai, acara ini dikenal dengan istilah barapen.
Dalam tradisi bakar batu terdapat makna mendalam, yakni sebagai ungkapan syukur pada Tuhan dan simbol solidaritas yang kuat.
Bakar batu merupakan ritual memasak bersama yang bertujuan untuk mewujudkan rasa syukur kepada sang pemberi kehidupan.
Bakar batu juga sebagai alat bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, menyambut kabar bahagia, atau mengumpulkan prajurit untuk berperang dan pesta setelah perang.
Atau bahkan media perdamaian antarkelompok yang berperang.
Ritual ini juga sering dilakukan untuk menghimpun orang pada prosesi pembukaan ladang, kelahiran, kematian, berburu, membangun rumah, perkawinan, dan juga hal-hal lain yang mengharuskan mobilisasi massa dalam jumlah besar.
Upacara bakar batu juga merupakan simbol kesederhanaan masyarakat Papua.
Muaranya ialah persamaan hak, keadilan, kebersamaan, kekompakan, kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan yang membawa pada perdamaian.
Bahkan di komunitas muslim Papua, misalnya, di daerah Walesi Jayawijaya dan komunitas muslim Papua daerah lain, dalam menyambut Ramadan, mereka juga melakukan bakar batu.
Namun media yang dibakar diganti ayam.