Kisah Heroik Soekarno yang Menolak Menyerah kepada Van Langen, Bagaimana Ia Menghadapi Pengepungan Belanda

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Bekas Komandan Detasemen Kawal Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo, ketika menyalami Presiden Soekarno yang genap berusia enam puluh tahun pada tahun 1961.
Bekas Komandan Detasemen Kawal Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo, ketika menyalami Presiden Soekarno yang genap berusia enam puluh tahun pada tahun 1961.

Intisari-online.com -Pada tanggal 19 Desember 1948, Tentara Kerajaan Belanda melancarkan Agresi Militer II ke Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu.

Mereka berhasil menduduki kota dan menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi lainnya.

Namun, sebelum ditangkap, Soekarno sempat menyampaikan pidato singkat yang berisi pesan perjuangan kepada rakyat Indonesia.

Pidato itu berbunyi:

"Saudara-saudara sekalian! Sekarang kita menghadapi musuh yang sangat kuat. Mereka ingin menghancurkan Republik Indonesia yang kita cintai. Mereka ingin menguasai tanah air kita yang kaya. Mereka ingin menjajah kita kembali. Tetapi, saudara-saudara sekalian, jangan takut! Jangan putus asa! Jangan menyerah! Kita harus berjuang sampai titik darah penghabisan! Kita harus mempertahankan kemerdekaan kita dengan segala cara! Kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat dan berhak hidup bebas! Saudara-saudara sekalian! Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya. Mungkin saya akan ditangkap, mungkin saya akan dibunuh, mungkin saya akan dibuang. Tetapi, apapun yang terjadi pada saya, saya tetap setia kepada Republik Indonesia! Saya tetap setia kepada Pancasila! Saya tetap setia kepada Undang-Undang Dasar 1945! Saudara-saudara sekalian! Jika saya tidak bisa memimpin perjuangan ini lagi, saya percaya bahwa ada pemimpin-pemimpin lain yang akan menggantikan saya. Saya percaya bahwa ada jutaan Soekarno di seluruh Indonesia yang akan melanjutkan perjuangan ini. Saya percaya bahwa rakyat Indonesia tidak akan pernah menyerah kepada penjajah! Saudara-saudara sekalian! Hidup Republik Indonesia! Hidup rakyat Indonesia! Merdeka atau mati!"

Pidato itu disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) dan didengar oleh jutaan pendengar di seluruh negeri.

Pidato itu juga menggugah semangat para pejuang yang masih bertahan di luar kota. Salah satunya adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang saat itu sedang sakit paru-paru dan harus dibawa dengan tandu oleh para pengawalnya.

Sudirman memerintahkan para komandan TNI untuk melakukan gerilya dan serangan-serangan kejutan terhadap pasukan Belanda.

Ia juga memerintahkan untuk membentuk Komando Djawa Tengah (Kodjateng), sebuah pemerintahan sementara yang bertugas mengatur urusan sipil dan militer di Jawa Tengah.

Sementara itu, di Yogyakarta, Soekarno dan para tawanan lainnya dibawa ke Istana Kepresidenan oleh pasukan Belanda.

Di sana, mereka disambut oleh Kolonel van Langen, komandan militer Belanda di Yogyakarta.

Baca Juga: Peristiwa Tanjung Priok: Latar Belakang, Kronologi, dan Penyelesaian

Van Langen menawarkan Soekarno untuk bekerja sama dengan Belanda dalam membentuk pemerintahan federal di Indonesia.

Ia juga menjanjikan bahwa Soekarno akan diberi kekuasaan sebagai kepala negara federal tersebut.

Namun, Soekarno menolak tawaran van Langen dengan tegas. Ia mengatakan bahwa ia hanya mengakui Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan sah di Indonesia.

Ia juga mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bekerja sama dengan penjajah yang telah membunuh ribuan rakyatnya.

Ia menantang van Langen untuk membunuhnya jika mau, tetapi ia tidak akan pernah menyerah.

Van Langen marah mendengar jawaban Soekarno.

Ia memerintahkan pasukannya untuk mengepung istana dan mengancam akan membombardirnya jika Soekarno tidak mau menyerah.

Ia juga mengirim ultimatum kepada para pejuang di luar kota untuk menyerahkan diri atau menghadapi serangan udara.

Namun, ultimatum van Langen tidak dihiraukan oleh para pejuang.

Mereka malah membalas dengan melakukan serangan-serangan sporadis terhadap pos-pos Belanda.

Mereka juga berusaha menyusup ke kota untuk menyelamatkan Soekarno dan para tawanan lainnya.

Baca Juga: Inilah Janji yang Diberikan Belanda ke Indonesia di Balik Peristiwa Konferensi Meja Bundar

Salah satu kelompok yang berhasil masuk ke kota adalah kelompok yang dipimpin oleh Kapten Abdul Haris Nasution, yang kemudian menjadi Panglima TNI.

Nasution dan pasukannya berhasil mencapai istana dan berkomunikasi dengan Soekarno melalui telepon.

Nasution memberitahu Soekarno bahwa para pejuang masih setia kepadanya dan akan terus berjuang sampai kemerdekaan Indonesia dipulihkan.

Soekarno merasa terharu mendengar laporan Nasution.

Ia memuji keberanian dan kesetiaan para pejuang. Ia juga memberi semangat kepada mereka untuk tidak menyerah dan terus berjuang.

Ia mengatakan bahwa ia yakin bahwa Tuhan akan membantu mereka dan bahwa kemenangan akan segera diraih.

Pengepungan Belanda terhadap istana berlangsung selama beberapa hari. Namun, mereka tidak berhasil memaksa Soekarno untuk menyerah.

Mereka juga tidak berhasil menghentikan serangan-serangan para pejuang.

Akhirnya, pada tanggal 23 Desember 1948, van Langen memutuskan untuk mengakhiri pengepungan dan membawa Soekarno dan para tawanan lainnya ke Jakarta.

Di sana, mereka ditahan di penjara Bukit Duri.

Pengepungan Belanda terhadap istana merupakan salah satu peristiwa heroik dalam sejarah perjuangan Indonesia.

Peristiwa itu menunjukkan keteguhan hati dan jiwa patriotik Soekarno sebagai pemimpin bangsa.

Peristiwa itu juga menunjukkan keberanian dan kesetiaan para pejuang yang tidak pernah menyerah kepada penjajah.

Peristiwa itu menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia untuk terus berjuang sampai akhirnya Indonesia merdeka pada tanggal 27 Desember 1949.

Artikel Terkait