Intisari-online.com - Nikel adalah salah satu logam yang memiliki peran penting dalam dunia industri, khususnya dalam sektor energi baru terbarukan.
Nikel digunakan sebagai bahan baku utama untuk membuat baterai lithium-ion, yang merupakan teknologi penyimpanan energi paling efisien dan ramah lingkungan saat ini.
Baterai lithium-ion banyak digunakan untuk kendaraan listrik, ponsel, laptop, dan perangkat elektronik lainnya.
Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar di dunia, dengan cadangan mencapai 52% dari total cadangan global.
Pada tahun 2020, Indonesia berhasil memproduksi 760 ribu ton nikel, meningkat 25% dari tahun sebelumnya.
Indonesia juga memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas produksi nikel hingga 1,2 juta ton per tahun pada tahun 2025.
Dengan cadangan dan produksi nikel yang melimpah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam pasar global baterai lithium-ion.
Indonesia tidak hanya bisa mengekspor nikel mentah, tetapi juga bisa mengolah nikel menjadi produk hilir yang lebih bernilai tambah, seperti nikel matte, nikel sulfat, dan baterai lithium-ion itu sendiri.
Dengan demikian, Indonesia bisa meningkatkan pendapatan negara, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung transisi energi baru terbarukan di dalam negeri.
Namun, tidak semua berjalan mulus bagi industri nikel Indonesia.
Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, baik dari sisi internal maupun eksternal.
Baca Juga: Ini Alasan Nikel, Sumber Daya Alam yang Menjadi Harapan Baru bagi Masa Depan Indonesia
Secara internal, Indonesia harus memperbaiki infrastruktur dan regulasi yang mendukung pengembangan industri nikel.
Misalnya, membangun jaringan listrik yang andal dan efisien, memberikan insentif fiskal dan non-fiskal bagi investor, serta menjamin kepastian hukum dan perlindungan lingkungan.
Secara eksternal, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang juga memiliki cadangan nikel yang besar, seperti Filipina, Australia, dan Rusia.
Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi permintaan global yang fluktuatif dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah, dan kondisi pasar.
Misalnya, pada tahun 2020, permintaan global nikel turun 8% akibat pandemi Covid-19.
Namun, pada tahun 2021, permintaan global nikel diprediksi akan naik 14% seiring dengan pemulihan ekonomi dan peningkatan penjualan kendaraan listrik.
Oleh karena itu, Indonesia harus mampu mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan dinamika pasar global nikel.
Indonesia harus terus berinovasi dan meningkatkan kualitas produk nikelnya agar bisa bersaing dengan negara-negara lain.
Indonesia juga harus menjalin kerjasama dengan negara-negara konsumen utama nikel, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Dengan demikian, Indonesia bisa memperkuat posisinya sebagai raja nikel dunia yang menjadi tulang punggung industri baterai kendaraan listrik.