Mengenal Tradisi Larung Sesaji, yang Terkenal dalam Masyarakat Nusantara Ini Makna dan Sejarahnya

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Tradisi larung sesaji dalam masyarat Jawa.
Tradisi larung sesaji dalam masyarat Jawa.

Intisari-online.com -Larung sesaji adalah tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Jawa yang tinggal di pesisir pantai.

Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki, keselamatan, dan kesejahteraan yang diberikan.

Larung sesaji juga merupakan cara masyarakat Jawa untuk menghormati Ratu Laut Selatan, yang diyakini sebagai penguasa laut dan pelindung nelayan.

Sejarah Larung Sesaji

Larung sesaji sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, seperti Mataram Kuno, Singhasari, dan Majapahit.

Tradisi ini berkaitan dengan paham animisme dan dinamisme yang meyakini adanya roh-roh gaib yang menguasai alam.

Salah satu roh gaib yang paling terkenal adalah Ratu Laut Selatan, yang juga dikenal dengan nama Nyai Roro Kidul, Kanjeng Ratu Kidul, atau Gusti Kanjeng Ratu Kidul.

Ratu Laut Selatan diyakini sebagai istri dari raja-raja Mataram, mulai dari Panembahan Senopati hingga Sultan Agung.

Hubungan antara Ratu Laut Selatan dan raja-raja Mataram didasarkan pada perjanjian mistis yang disebut dengan Babad Tanah Jawi.

Dalam perjanjian ini, Ratu Laut Selatan akan memberikan kekuasaan dan kemakmuran kepada raja-raja Mataram, asalkan mereka mau menyerahkan diri sebagai suami dan mengabdi kepadanya.

Selain itu, Ratu Laut Selatan juga akan memberikan perlindungan kepada masyarakat Jawa yang tinggal di pesisir pantai, terutama para nelayan yang bergantung pada hasil laut.

Baca Juga: Rambu Solo, Tradisi Pemakaman Toraja Yang Sudah Ada Sebelum Masuknya Islam Dan Kristen Di Indonesia

Namun, Ratu Laut Selatan juga memiliki sifat yang angkuh dan pemarah.

Ia tidak suka jika ada orang yang mengganggu kedamaian laut atau melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan.

Misalnya, tidak boleh memakai pakaian berwarna hijau atau kuning di pantai selatan Jawa, tidak boleh menyebut nama asli Ratu Laut Selatan, atau tidak boleh menolak ajakan Ratu Laut Selatan untuk menjadi suami atau istri.

Untuk menjaga hubungan baik dengan Ratu Laut Selatan, masyarakat Jawa melakukan larung sesaji sebagai bentuk penghormatan dan permohonan.

Larung sesaji biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu dalam kalender Jawa, seperti 1 Suro (1 Muharram), Ruwah (bulan sebelum Ramadhan), atau Purnama (bulan purnama).

Larung sesaji juga bisa dilakukan sebagai respon terhadap bencana alam atau kejadian-kejadian aneh yang terjadi di laut.

Makna Larung Sesaji

Larung sesaji memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Secara harfiah, larung berarti melempar atau melepas, sedangkan sesaji berarti persembahan atau kurban.

Jadi, larung sesaji berarti melempar atau melepas persembahan ke laut. Persembahan ini biasanya berupa tumpeng (nasi kuning berbentuk kerucut), kepala sapi atau kerbau, hasil bumi atau laut (seperti buah-buahan, sayur-sayuran, ikan, udang, dll), kain batik (terutama motif parang), dupa, kembang setaman (bunga-bunga segar), uang logam, dan lain-lain.

Sesaji ini kemudian diarak menuju pantai dan didoakan oleh para tokoh agama atau adat.

Setelah itu, sesaji dilemparkan ke laut sebagai persembahan kepada Ratu Laut Selatan.

Tujuan dari larung sesaji adalah untuk memohon berkah, keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan dari Ratu Laut Selatan.

Baca Juga: Bagaimana Peran Tradisi Gotong Royong Untuk Mempersatukan Bangsa Indonesia Yang Beragam?

Larung sesaji juga merupakan bentuk rasa syukur atas hasil tangkapan ikan selama melaut⁵.

Selain itu, larung sesaji juga memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan konsep hidup dan mati dalam budaya Jawa.

Larung sesaji dianggap sebagai simbol dari proses manusia kembali ke asalnya, yaitu laut.

Laut di sini melambangkan alam semesta atau Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Dengan demikian, larung sesaji menunjukkan sikap manusia yang tunduk dan pasrah kepada Tuhan, serta menyadari bahwa hidup dan mati adalah siklus yang tak terhindarkan.

Larung sesaji juga menunjukkan sikap manusia yang rendah hati dan tidak sombong atas apa yang dimilikinya.

Sesaji yang dilemparkan ke laut merupakan ungkapan bahwa manusia tidak memiliki hak atas apa yang diperolehnya dari alam.

Semua itu adalah pemberian Tuhan yang harus disyukuri dan dibagikan dengan sesama.

Larung sesaji juga mengajarkan manusia untuk selalu menjaga keseimbangan antara alam, manusia, dan Tuhan, serta menghargai keberagaman dan kekayaan budaya bangsa.

Demikian artikel yang saya buat tentang larung sesaji. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda.

Artikel Terkait