John Hersey berhasil mengulik sisi lain dari jatuhnya bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 melalui sebuah karya jurnalistik ciamik.
Intisari-Online.com -Jatuhnya bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945--disusul Nagasaki tiga hari kemudian--menjadi peristiwa paling traumatik yang dirasakan oleh penduduk Jepang.
Dua bom atom itu merupakan upaya terakhir Amerika Serikat, melalui perintah Presiden Harry S. Truman, untuk membuat Kekaisaran Jepang menyerah dalam Perang Dunia II.
Tak hanyameluluhlantakkan dua kota penting Jepang, bom atom ini juga “sukses” menghentikan Perang Dunia II yang berkepanjangan.
Tanpa mengesampingkan segi-segi traumatiknya, ternyata ada hal-hal lain yang bisa dikulik dari peristiwa dahsyat itu.
Adalah John Hersey yang sukses mencari sisi lain itu lewat bukunya Hiroshima yang pertama terbit tahun 1946.
Sejatinya ini adalah laporan jurnalistik panjang John Hersey untuk The New Yorker setahun setelah kejadian tersebut.
Buku itu pertama diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 2008 oleh Penerbit Komunitas Bambu dengan judul "Hiroshima Ketika Bom Dijatuhkan".
Buku ini dengan cermat menceritakan detika-detik menjelang bom dijatuhkan, pesawat-pesawat pengebom yang hilir mudik bak camar.
Alarm-alarm penanda bahwa kota dalam keadaan bahaya dan kisah lainnya.
Secara kronologis, Hersey juga menjelaskan bagaimana keadaan Hiroshima beberapa saat setelah bom itu jatuh.
Mencekam, tak ada asa, mati.
Meski demikian, buku ini tidak melulu mengorek manusia-manusia yang trauma.
Hiroshima juga menjabarkan bagaimana karakter manusia-manusia Jepang yang tangguh lewat enam sosok yang menjadi aktor utama buku Hersey.
Kiyoshi Tanimoto sang pendeta, Masakuzu Fusi si dokter, Pastur Wilhelm Kleinsorge, Hatsuyo Nakamura seorang nenek, Terufumi Sasaki dokter bedah, dan Toshinki Sasaki putri Terufumi Sasaki.
Buku ini bukan karya fiksi.
Ini adalah murni sebuah catatan jurnalistik yang pernah terbit di surat kabar terkemuka Amerika Serikat, The New Yorker.
Hersey sukses menjlentrehkan cerita sedetail mungkin dengan deskripsi yang total.
Setiap detik menjelang bom meledak berhasil dia gambarkan dengan sangat bernas.
Paling menarik, melalui buku ini, Hersey berusaha membawa pembaca (juga masyarakat Jepang) menjauh dari miris dan iba.
Untuk menjaga jarak, Hersey terlihat cuek dengan segala yang terjadi, semuanya kejadian disandarkan pada sudut pandang ke enam tokoh yang tersebut di atas.
Bagi para penikmat jurnalisme sastrawi, buku ini adalah rujukan utama.
Tokoh-tokoh dengan sifat dan karakter masing-masing, latar yang tergambar detail, alurnya juga jelas, saat membacanya, kita seolah membaca sebuah novel berlatar sejarah.
Tapi sekali lagi, ini murni tulisan jurnalistik.