Intisari-online.com - Pada tanggal 6 Agustus 1945, dunia menyaksikan peristiwa yang mengguncang sejarah: pengeboman atom pertama di kota Hiroshima, Jepang.
Bom atom yang dijuluki "Little Boy" itu meledakkan kota dengan kekuatan setara 20.000 ton TNT, menewaskan sekitar 140.000 orang dan melukai ratusan ribu lainnya.
Bom atom itu dibawa oleh pesawat pengebom B-29 Superfortress yang bernama Enola Gay
Pesawat yang dipiloti oleh seorang kolonel Angkatan Udara AS bernama Paul Warfield Tibbets Jr.
Siapakah Paul Tibbets? Bagaimana ia terlibat dalam misi rahasia yang disebut Proyek Manhattan?
Apa yang ia rasakan setelah menjatuhkan bom atom di Hiroshima?
Dan bagaimana ia menjalani hidupnya setelah perang? Berikut adalah kisahnya.
Paul Tibbets lahir pada 23 Februari 1915 di Quincy, Illinois, AS.
Ayahnya adalah seorang penjual es krim dan ibunya adalah seorang guru.
Paul bercita-cita menjadi dokter bedah, tetapi ia lebih tertarik pada penerbangan.
Ia belajar terbang di usia 12 tahun dan bergabung dengan Korps Angkatan Udara AS pada tahun 1937.
Selama Perang Dunia II, Paul Tibbets menjadi pilot berpengalaman yang menjalankan berbagai misi penerbangan penting.
Seperti mengebom pantai Prancis pada Hari D dan menyerang target-target di Jerman dan Afrika Utara.
Ia juga menjadi salah satu pilot pertama yang mencoba pesawat pengebom B-29, yang merupakan pesawat tercanggih saat itu.
Pada September 1944, Paul Tibbets dipanggil oleh Jenderal Uzal Ent, komandan Angkatan Udara Ke-2, untuk mengambil bagian dalam sebuah proyek rahasia yang bertujuan untuk mengakhiri perang dengan Jepang.
Proyek itu adalah Proyek Manhattan, yaitu program pengembangan bom atom oleh ilmuwan-ilmuwan AS, Inggris, dan Kanada.
Paul Tibbets diberi tugas untuk memimpin sebuah unit khusus yang disebut Skuadron Komposit 509, yang terdiri dari 15 pesawat B-29 dan 1.800 personel.
Unit ini berlatih di pangkalan udara Wendover di Utah untuk mempersiapkan diri untuk menjatuhkan bom atom di Jepang.
Paul Tibbets juga belajar tentang seluk-beluk bom atom dari para ilmuwan seperti Robert Oppenheimer dan Norman Ramsey.
Pada awal Agustus 1945, Paul Tibbets dan unitnya berpindah ke pulau Tinian di Samudra Pasifik, tempat mereka akan meluncurkan serangan terhadap Jepang.
Paul Tibbets memilih salah satu pesawat B-29 dan memberinya nama Enola Gay, sesuai dengan nama ibunya.
Ia juga memilih krunya sendiri, termasuk kopilot Robert Lewis, navigator Theodore Van Kirk, bombardir Thomas Ferebee, dan perwira senjata William Parsons.
Baca Juga: Tegur Siswa Merokok, Sosok Guru Tegas Dan Humoris Ini Diketapel Orangtua Murid Hingga Alami Kebutaan
Pada tanggal 5 Agustus 1945, Paul Tibbets mendapat perintah untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada keesokan harinya.
Ia dan krunya berangkat dari Tinian pada pukul 02:45 pagi waktu setempat dengan membawa bom atom Little Boy yang beratnya sekitar 4 ton.
Mereka terbang selama enam jam menuju Hiroshima dengan dikawal oleh dua pesawat B-29 lainnya.
Pada pukul 08:15 pagi waktu setempat, Paul Tibbets mencapai sasaran dan memberi isyarat kepada Thomas Ferebee untuk menjatuhkan bom atom.
Bom itu meledak sekitar 600 meter di atas tanah dengan menghasilkan bola api raksasa dan gelombang kejut dahsyat.
Paul Tibbets dan krunya merasakan guncangan hebat dan melihat awan jamur besar naik dari kota.
Paul Tibbets kemudian memutar pesawatnya dan terbang kembali ke Tinian dengan selamat.
Ia dan krunya disambut sebagai pahlawan dan dianugerahi medali Distinguished Service Cross oleh Jenderal Carl Spaatz.
Paul Tibbets mengatakan bahwa ia tidak menyesal atas apa yang ia lakukan, karena ia percaya bahwa pengeboman atom itu menyelamatkan banyak nyawa dengan memaksa Jepang untuk menyerah.
Setelah perang, Paul Tibbets melanjutkan karirnya di Angkatan Udara AS dan menjadi salah satu perintis dalam program penerbangan jet dan nuklir.
Ia juga menjadi saksi mata dalam uji coba bom hidrogen di Pasifik pada tahun 1952.
Kemudian dia pensiun dari militer pada tahun 1966 dengan pangkat brigadir jenderal.
Paul Tibbets meninggal pada 1 November 2007 di usia 92 tahun di Columbus, Ohio, AS.
Ia dimakamkan secara pribadi tanpa batu nisan, karena ia khawatir bahwa makamnya akan menjadi sasaran protes atau vandalisme.
Ia meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan beberapa cucu.
Paul Tibbets adalah salah satu tokoh yang kontroversial dalam sejarah dunia.
Bagi sebagian orang, ia adalah seorang patriot, pahlawan, dan pemimpin yang berani dan berjasa.
Bagi sebagian lain, ia adalah seorang pembunuh massal, penjahat perang, dan biang kerok tragedi kemanusiaan.
Bagaimanapun, ia adalah saksi hidup dari kekuatan dan akibat dari senjata nuklir.