Intisari-online.com - Pakubuwono I adalah raja Mataram Islam yang ketujuh yang berkuasa dari tahun 1704 sampai 1719.
Ia terlahir dengan nama Raden Mas Drajat dari istri kedua Amangkurat I, Ratu Wetan, yang berasal dari Kajoran dan masih keturunan Pajang.
Ia diberi gelar Pangeran Puger saat menjadi putra mahkota, tetapi kemudian dicopot karena keluarga ibunya terlibat dalam pemberontakan Trunojoyo.
Dalam babad-babad Jawa, Pakubuwono I digambarkan sebagai seorang raja agung yang bijaksana.
Ia berhasil mengalahkan Amangkurat III, saudara tirinya yang merebut takhta Mataram setelah kematian Amangkurat II, dengan bantuan VOC.
Ia juga berhasil menumpas pemberontakan Untung Surapati di Jawa Timur dan mengembalikan kestabilan kerajaan.
Namun, apakah gambaran ini sesuai dengan fakta sejarah?
Apakah Pakubuwono I benar-benar seorang raja agung yang bijaksana, atau sebenarnya ia adalah raja tunduk yang lemah di bawah pengaruh VOC?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat hubungan Pakubuwono I dengan VOC secara lebih kritis.
Hubungan ini dimulai ketika Pakubuwono I meminta bantuan VOC untuk menghadapi Amangkurat III, yang juga didukung oleh Untung Surapati.
VOC bersedia membantu Pakubuwono I dengan syarat ia harus menyerahkan beberapa wilayah dan hak istimewa kepada VOC, seperti Banten, Priangan, Cirebon, Madura, dan hak monopoli perdagangan rempah-rempah.
Pakubuwono I menyetujui syarat-syarat ini dan menandatangani Perjanjian Matarampada 1705.
Perjanjian ini mengakui Pakubuwono I sebagai raja Mataram yang sah dan memberikan VOC hak-hak yang mereka minta.
Dengan bantuan VOC, Pakubuwono I berhasil merebut kembali Kartasura, ibu kota Mataram, dari Amangkurat III pada 1705.
Pada 1706-1708, ia juga berhasil menyerang Jawa Timur dan membunuh Untung Surapati di Bangil.
Namun, hubungan Pakubuwono I dengan VOC tidak berjalan mulus.
VOC terus menuntut Pakubuwono I untuk membayar utang-utangnya kepada VOC, yang terus bertambah karena bunga dan biaya perang.
VOC juga terus mengintervensi urusan internal keraton Mataram dan mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Jawa.
Pakubuwono I tidak mampu melunasi utang-utangnya kepada VOC dan tidak berdaya menghadapi campur tangan VOC.
Akibatnya, hubungan Pakubuwono I dengan para pembesar dan rakyat Mataram menjadi renggang.
Para pembesar merasa terbebani oleh utang-utang sang raja dan tidak puas dengan kebijakan-kebijakan yang pro-VOC.
Rakyat Mataram juga menderita akibat pajak-pajak yang tinggi, kerja paksa (rodi), dan kelaparan yang disebabkan oleh monopoli perdagangan VOC.
Baca Juga: Amangkurat III Raja Mataram yang Wafat di Sri Lanka Akibat Intrik Belanda
Pada 1718-1719, situasi menjadi semakin kritis. Pakubuwono I mengalami sakit-sakitan dan tidak mampu mengendalikan keraton.
Para pembesar mulai bersekongkol untuk menggulingkan Pakubuwono I dan menggantikannya dengan putra-putranya atau saudara-saudaranya.
VOC juga mulai khawatir akan masa depan kerjasama mereka dengan Mataram dan mencari calon-calon pengganti Pakubuwono I.
Pada 1719, Pakubuwono I meninggal dunia tanpa menunjuk penggantinya secara jelas.
Hal ini memicu perang suksesi yang berkepanjangan antara para pewaris Mataram, yaitu Amangkurat IV, Pakubuwono II, Pakubuwono III, dan Raden Mas Said.
Perang suksesi ini berakhir dengan Perjanjian Salatiga pada 1757, yang membagi wilayah Mataram menjadi tiga kekuasaan, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegaran.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa Pakubuwono I bukanlah seorang raja agung yang bijaksana, tetapi sebenarnya ia adalah raja tunduk yang lemah.
Ia tidak mampu menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan Mataram di bawah tekanan VOC.
Ia juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan internal keraton dan mewariskan konflik kepada para pewarisnya.
Ia adalah raja yang mengawali akhir dari Kesultanan Mataram dan awal dari kerajaan-kerajaan baru di Jawa.