Mewarisi Watak Kepemimpinan Sultan Agung, Raja Terbesar Mataram Islam

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ada beberapa watak kepemimpinan raja terbesar Mataram Islam, Sultan Agung, yang bisa dicontoh oleh generasi muda era sekarang.
Ada beberapa watak kepemimpinan raja terbesar Mataram Islam, Sultan Agung, yang bisa dicontoh oleh generasi muda era sekarang.

Ada beberapa watak kepemimpinan raja terbesar Mataram Islam, Sultan Agung, yang bisa dicontoh oleh generasi muda era sekarang.

Inisari-Online.com -Salah satu warisan terbesar Sultan Agung adalah watak kepemimpinannya.

Sebagai raja terbesar Mataram Islam, Raden Mas Rangsang punya ciri pemimpin yang tegas dan pemberani.

Apakah cuma itu saja?

Sultan Agung merupakan raja ketiga Mataram Islam, yang memimpin antara 1613 hingga 1645.

Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram Islam berhasil mencapai masa emasnya.

Mataram berhasil menjadi salah satu kerajaan tebresar dan paling dihormati di Nusantara pada masa itu.

Kejayaan yang didapatkan Sultan Agung ini, salah satunya,didorong oleh faktor perjuangannya dalam melindungi Kerajaan Mataram Islam.

Salah satu perjuangannya adalah ketika ia menyerang Batavia yang waktu itu dikuasai oleh JP Coen, Gubernur Jenderal VOC tahun 1628.

Apa saja watak kepemimpinan Sultan Agung?

Semangat berjuang

Sifat kepemimpinan Sultan Agung yang pekerja keras dapat dilihat dari caranya memimpin perlawanan terhadap VOC.

Terjadinya pertempuran antara Sultan Agung dengan VOC disebabkan oleh kekecewaan VOC setelah tidak mendapat izin mendirikan loji-loji dagang di pantai utara Mataram.

Pertempuran pun berjalan cukup pelik, di mana pasukan Mataram dijatuhi tembakan dari kastil oleh pasukan VOC.

Demi menjaga keutuhan Kerajaan Mataram, Sultan Agung menyerang Batavia dua kali.

Pada serangan pertama, Sultan Agung dan pasukannya mengalami kegagalan karena kurang persiapan.

Lalu, pada Mei 1629, Sultan Agung kembali menyerang Batavia dengan membawa pasukan sebanyak 14.000 prajurit.

Sayangnya, Sultan Agung kembali mendapati kegagalan karena kurang perbekalan dan merebaknya wabah penyakit malaria serta kolera.

Pada akhirnya, Sultan Agung tiadk berhasil merebut Batavia dari VOC.

Kendati begitu, semangat Sultan Agung untuk mengusir VOC dari Nusantara masih tetap membara.

Bahkan hingga akhir hidupnya, Sultan Agung memilih untuk tidak berdamai dengan VOC.

Kecintaan terhadap budaya dan tradisi

Tak hanya panglima perang ulung, Sultan Agung juga dikenal sebagai pemimpin yang cinta akan budaya, khususnya budaya Jawa.

Pada 1633 M, Sultan Agung menciptakan sebuah sistem penanggalan yang dikenal dengan nama Kalender Jawa.

Kalender Jawa adalah hasil perpaduan antara penanggalan Saka dari India dengan Hijriah (Islam).

Sebelum masa pemerintahan Sultan Agung, masyarakat Kerajaan Mataram Islam menggunakan kalender Saka.

Kalender Saka didasari pada pergerakan matahari, berbeda dengan kalender Islam yang didasarkan pada pergerakan bulan.

Perbedaan ini kemudian membuat perayaan-perayaan adat yang diadakan oleh keraton menjadi tidak selaras.

Berbekal dari kondisi tersebut, Sultan Agung ingin agar perayaan adat oleh keraton dan hari besar Islam dapat dilangsungkan secara bersamaan.

Oleh karena itu, Sultan Agung membuat kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan Hijriah.

Pemimpin yang adil

Sultan Agung juga diidentikkan sebagai pemimpin yang adil.

Bentuk keadilan yang ditunjukkan oleh Sultan Agung adalah dengan menyatukan seluruh wilayah Jawa di bawah kekuasaan Mataram Islam.

Menurut Sultan Agung, sebuah kedaulatan raja itu harus merupakan sebuah kesatuan yang bulat dan utuh tanpa membeda-bedakan.

Oleh sebab itu, Sultan Agung berupaya untuk menyatukan seluruh wilayah Jawa di bawah satu kekuasaan.

Wilayah daerah kekuasaan Mataram Islam kemudian meluas hingga mencakup seluruh Jawa Tengah, Jawa Barat, Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.

Berkat prestasi yang dihasilkan oleh Sultan Agung selama memimpin Kerajaan Mataram Islam, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya.

Artikel Terkait