Intisari-online.com - Pangeran Sambernyawa adalah julukan yang diberikan oleh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC, kepada Raden Mas Said, seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang melawan penjajahan Belanda.
Nama julukan ini berasal dari kata "samber" yang berarti menyerang dan "nyawa" yang berarti jiwa.
Artinya, Pangeran Sambernyawa adalah pangeran yang menyerang jiwa musuh-musuhnya dengan keberanian dan kegigihannya.
Raden Mas Said lahir di Kartasura pada 7 April 1725 dari pasangan Pangeran Arya Mangkunegara dan Raden Ayu Wulan.
Ayahnya adalah putra tertua Sunan Amangkurat IV, raja Mataram ke-8.
Namun, ayahnya dibuang ke Srilanka oleh VOC karena sikapnya yang anti-Belanda.
Raden Mas Said kemudian diasuh oleh neneknya, Raden Ajeng Sumanarsa.
Perjuangan Raden Mas Said dimulai ketika ia bergabung dengan pemberontakan di Kartasura pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, alias Sunan Kuning.
Pemberontakan ini terjadi karena ketidakpuasan rakyat Mataram terhadap Pakubuwono II, raja Mataram yang tunduk kepada VOC.
Raden Mas Said diangkat sebagai panglima perang dengan gelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati.
Raden Mas Said dan Sunan Kuning berhasil mengusir Pakubuwono II dari Kartasura dan menduduki istana.
Namun, VOC mengirim pasukan untuk merebut kembali istana dan membantu Pakubuwono II memindahkan ibu kota Mataram ke Surakarta.
Raden Mas Said dan Sunan Kuning terpaksa mundur dan bergerilya di daerah-daerah sekitar.
Raden Mas Said kemudian berpisah dengan Sunan Kuning dan membentuk pasukan sendiri yang terdiri dari rakyat jelata, mantan prajurit Mataram, dan para ulama.
Ia juga mendapat dukungan dari Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwono II yang juga menentang VOC.
Raden Mas Said melakukan serangan-serangan terhadap VOC dan sekutunya di berbagai tempat, seperti Demak, Grobogan, Pati, Rembang, Tuban, Bojonegoro, Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Salatiga, Semarang, dan Jepara.
Raden Mas Said dikenal sebagai pemimpin yang cerdas, berani, dan berwibawa.
Ia juga memiliki keahlian dalam ilmu perang dan ilmu gaib.
Kemudian mampu mengatur strategi perang yang efektif dan mengelabui musuh dengan tipu muslihat.
Ia juga mampu membangkitkan semangat juang rakyatnya dengan pidato-pidato yang menggugah hati.
Ia sering kali berhasil lolos dari kepungan musuh dengan bantuan ilmu gaibnya.
Salah satu kisah heroik Pangeran Sambernyawa adalah ketika ia berhasil mengecoh VOC dengan menyamar sebagai pengantin wanita.
Pada tahun 1756, VOC mengetahui bahwa Raden Mas Said berada di daerah Ngawi dan mengirim pasukan untuk mengepungnya.
Raden Mas Said menyadari bahwa ia tidak bisa melawan pasukan VOC yang lebih besar dan lebih kuat. Ia pun memutuskan untuk menyamar sebagai pengantin wanita yang akan dinikahkan dengan salah satu pengikutnya.
Ia memakai baju pengantin wanita lengkap dengan selendang dan kerudung yang menutupi wajahnya.
Ia juga memakai perhiasan-perhiasan emas dan permata yang sebenarnya adalah senjata-senjata tajam yang disembunyikan.
Kemudian naik ke atas tandu yang diangkat oleh empat orang pengawalnya yang juga menyamar sebagai pengiring pengantin.
Pasukan VOC yang melihat rombongan pengantin ini tidak curiga dan mengira bahwa mereka adalah warga sipil yang tidak berbahaya.
Mereka pun membiarkan rombongan pengantin itu melewati barisan mereka tanpa menghalangi atau memeriksa.
Setelah berhasil lolos dari kepungan musuh, Raden Mas Said dan pengikutnya segera mengganti pakaian dan melarikan diri ke tempat yang aman.
Perjuangan Raden Mas Said berakhir pada tahun 1757, ketika ia menandatangani Perjanjian Salatiga dengan VOC.
Perjanjian ini mengakui Raden Mas Said sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I.
Ia juga mendapat wilayah kekuasaan yang meliputi sebagian Surakarta, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, dan Wonogiri.
Kemudisn juga mendapat hak untuk memiliki pasukan sendiri yang disebut Prajurit Sepuh.
Meskipun telah berdamai dengan VOC, Mangkunegara I tetap menjaga semangat perjuangan dan kemandirian rakyatnya.
Ia membangun istana Mangkunegaran yang megah dan indah di Surakarta.
Juga mengembangkan budaya, seni, dan ilmu pengetahuan di kadipatennya.
Ia menciptakan tari-tarian, wayang, musik, sastra, dan seni bela diri yang khas.
Juga mendirikan sekolah-sekolah dan panti asuhan untuk rakyatnya.
Mangkunegara I meninggal pada 28 Desember 1795 dan dimakamkan di Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar.
Ia digantikan oleh putranya, Mangkunegara II.
Lalu dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia yang berjasa dalam mempertahankan kedaulatan dan kebudayaan bangsanya dari penjajahan asing.