Antara fakta dan mitos, keberadaan kerajaan Medang Kamulan masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Diduga berada di sekitar Grobogan.
Intisari-Online.com -Para ahli belum satu suara soal keberadaan kerajaan Medang Kamulan.
Ada yang bilang bahwa kerajaan ini pernah berdiri di Jawa Tengah.
Ada juga yang bilang, Medang Kamulan hanya kerajaan mitos yang bersumber dari cerita rakyat.
Konon, pusat kerajaan Medang Kamulan berada di Kabupaten Grobogan sekarang.
Paling tidak, begitulah tulis situs Grobogan.co.id.
Di situ tertulis, Kabupaten Grobogan sudah dikenal sejak masa Mataram Hindu.
Daerah ini, masih dari sumber yang sama, disebut pernah menjadi pusat kerajaan Mataram dengan ibu kotanya Medang Kamulan atau Sumedang Purwocarito atau Purwodadi.
Pusat kerajaan itu kemudian berpindah ke sekitar kota Prambanan dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram atau Medang Mat i Watu atau Medang i Poh Pitu atau Medang ri Mamratipura.
Dikutip dari Kompas.com, sejak 2010, wargaDusun Medang, Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, punya kebiasaan unik yang jarang ditemukan di daerah lain.
Mereka beramai-ramai beraktivitas mencari emas dan perhiasaan berharga yang terpendam di areal persawahaan.
Kabarnya,sejumlah petani sering menemukan patahan emas di lahan sawah yang digarapnya.
"Sejak itu pula warga Dusun Medang berinisiatif beramai-ramai beraktivitas mencari emas maupun perhiasan berharga di areal persawahan miliknya. Hasilnya memuaskan," kata Kepala Desa Banjarejo, Ahmad Taufik kepada Kompas.com.
Menurut Taufik,lahan pertanian yang dijadikan sasaran pencarian emas memang sengaja tidak dipergunakan untuk bercocok tanam.
Sekitar 20 hektar sawah dianggurkan karena diyakini terkandung barang berharga di dalamya.
Warga Dusun Medang pun kini sudah terampil mencari emas seperti layaknya metode penambangan emas.
Fenomena tak lazim ini gencar dilakukan saat memasuki musim penghujan.
"Karena saat hujan tanah menjadi lembek dan berlumpur. Memudahkan pencarian emas. Minimal setiap kami beraksi jika dikumpulkan bisa dapat satu ons emas berupa serbuk. Hasilnya kami bagi rata. Ada juga yang mendapat perhiasaan kerajaan maupun patahan emas. Kebetulan beberapa hari ini hujan," kata warga Dusun Medang, Suwadi (48).
Beberapa tahun ini, masyarakat Kabupaten Grobogan dihebohkan dengan fenomena penemuan fosil-fosil hewan purbakala serta benda-benda yang diklaim sebagai bukti peninggalan kerajaan di Desa Banjarejo.
Sejauh ini tercatat sudah terkumpul sebanyak 850 patahan fosil dari 15 jenis hewan purbakala mulai dari gajah, kudanil, badak, rusa, serigala, kura-kura, buaya, sungai, siput, kerang, kerbau dan sebagainya.
Entah itu temuan warga maupun para peneliti yang melakukan penelusuran di Desa Banjarejo.
Adapun untuk penemuan yang diakui sebagai peninggalan zaman kerajaan, warga menemukan sejumlah perhiasaan, koin kuno, guci, lumpang batu, yoni, artefak dan lesung.
Bahkan, pada Oktober 2015, ditemukan fondasi bangunan dengan struktur batu bata yang berukuran besar (40 x 20 x 9 cm).
Fondasi bangunan yang masih tersusun rapi itu ditemukan terpendam di tengah areal persawahan setempat.
Diperkirakan, panjang fondasi bangunan itu mencapai satu kilometer lebih.
Mitos yang melekat kuat pada warga setempat meyakini bahwa konon dahulu wilayah Desa Banjarejo merupakan lokasi peradaban Kerajaan Medang Kamulan.
"Di Desa Banjarejo menyimpan nilai historis tentang peradaban kerajaan Medang Kamulan. Cerita turun-temurun dari nenek moyang mengisahkan jika Desa Banjarejo merupakan wilayah kekuasaan Prabu Dewata Cengkar dan Ajisaka," kata tokoh masyarakat Banjarejo, Sukimin (70).
Fenomena di Desa Banjarejo ini menarik perhatian para peneliti.
Sebut saja Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran dan Balai Arkeologi Yogyakarta.
Bahkan, pada akhir 2016, Guru Besar dan Arkeolog Museum National d'Histoire Naturelle Prancis, Profesor Francois sempat berkunjung ke Desa Banjarejo.
Dia mengutarakan niatnya akan menggelar penelitian di Desa Banjarejo.
Balai Arkeologi Yogyakarta akhirnya menamai lokasi penemuan fondasi bangunan dengan struktur batu bata berukuran besar itu sebagai "Situs Medang".
Sebagai kawasan cagar budaya yang secara hukum dilindungi oleh UU Nomor 11 Tahun 2010.
Hasil penelitiannya, Balai Arkeologi Yogyakarta menduga bahwa dahulunya area persawahan di lokasi temuan bangunan berkonstruksi batu bata berukuran besar di Desa Banjarejo, merupakan bekas permukiman kuno yang kompleks, padat, dan maju.
Peneliti Madya Balai Arkeologi Yogyakarta, Sugeng Riyanto, menjelaskan, struktur batu bata yang berukuran besar (40 x 20 x 9 cm) di situs Medang mengindikasikan bahwa struktur bata itu merupakan produk peradaban kuno yang sangat maju.
Kondisi ini, kata Sugeng, mengingatkan pada masa kejayaan masa klasik (Hindu - Budha) atau masa awal perkembangan peradaban Islam, khususnya di Jawa.
Masa Hindu-Budha berlangsung sekitar 12 abad (abad V - XV) yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu periode pertumbuhan, perkembangan, dan keruntuhan.
Masa selanjutnya, Nusantara didominasi oleh peradaban Islam, mulai sekitar abad XVI.
"Struktur batu bata jelas merupakan karya arsitektur yang maju. Teknik pemasangan batanya menggunakan spesi tanah liat. Teknik ini sangat jarang ditemui pada masa klasik, dan banyak digunakan pada masa-masa sesudahnya. Berdasarkan hal itu maka diduga struktur bata berasal dari masa pascaklasik atau awal masa peradaban Islam sekitar abad XVI-XVII Masehi, " jelas Sugeng.
Diutarakan Sugeng, kisaran kronologi abad XVI - XVII Masehi ini juga didukung oleh temuan fragmen-fragmen keramik hasil peninjauan pada 2014.
Hasil analisis atas pecahan-pecahan keramik yang berasal dari China tersebut menunjukkan dominasi dari Dinasti Ming pada abad XV - XVII Masehi.
Selain itu, sebagai pendukung kronologi, temuan pecahan-pecahan keramik, dan tembikar juga menunjukkan adanya hunian atau permukiman kuno yang kompleks.
Bahkan mengindikasikan adanya hubungan dengan wilayah-wilayah lain, termasuk hubungan perdagangan.
"Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan sungai di utara penemuan struktur bata menjadi data lingkungan yang sangat penting. Selain sebagai sumber air untuk mendukung kelangsungan permukiman kuno, sungai ini juga berperan sebagai pintu pertama dalam jaringan jalur transportasi masa itu," kata Sugeng.
Masih menurut Sugeng, ada indikasi adanya kesinambungan peradaban dari masa klasik (Hindu-Budha) hingga masa peradaban Islam.
Indikasi peradaban masa klasik ditandai oleh temuan yoni, lumpang, gandik, dan pipisan, uang keping China, serta beberapa pecahan keramik dari China masa Dinasti Sung abad XI - XII Masehi.
Adapun indikasi masa peradaban Islam, selain struktur bata adalah pecahan-pecahan keramik dari China masa Dinasti Ming abad XV - XVII Masehi dan Qing abad XVII-XX Masehi serta indikasi lain yang berkarakter masa peradaban Islam.
"Penemuan fondasi bangunan itu terpaksa kami uruk kembali untuk menghindari kerusakan. Apalagi belum ada anggaran untuk melanjutkan penggalian," kata Kades Banjarejo.