Sejarah Villa Isola, Dari Rumah Cassanova Kini Telah Menghasilkan Ribuan Guru

Tjahjo Widyasmoro

Editor

Villa Isola yang kini menjadi area kampus Universitas Pendidikan Indonesia, di masa lalu menyimpan cerita yang seru dari pemiliknya.
Villa Isola yang kini menjadi area kampus Universitas Pendidikan Indonesia, di masa lalu menyimpan cerita yang seru dari pemiliknya.

Kalau Kawan Intisari pernah berkunjung ke Bandung dan melewati Universitas Pendidikan Indonesia di Jalan Dr. Setiabudhi No. 229, maka akan terlihat sebuah bangunan cantik bergaya Art Deco.

Bangunan rektorat di kampus yang telah banyak mencetak calon-calon guru itu di masa lalu sempat dikenal sebagai Villa Isola.

Awalnya villa ini diberi nama "M'Isola E Vivo", artinya menyendiri dalam bertahan hidup.

Di masa lalu Villa ini memang terkesan menyendiri karena terletak di daerah terpencil bernama Desa Cidadap.

Villa Isola dibangun pada 1933 hasil rancangan Prof. Charles Prosper Wolf Schoemaker.

Pembangunannya cukup cepat, cuma sekitar 6 bulan dan mulai digunakan sejak 18 Desember 1933.

Bukan hanya bentuk bangunannya yang cantik, cerita di balik pemilik bangunan juga menarik untuk diselisik.

Sosok pemilik adalah Dominique William Berrety yang katanya menghabiskan dana 500 ribu gulden.

Berrety lahir di Yogyakarta pada 20 November 1890 dari ayah asal Italia dan ibu asal Jawa.

Karena peranakan indo Belanda, tak heran kalau wajah Berrety terlihat tampan. Pendidikannya juga tergolong baik.

Dengan ketampanan dan banyak uang, Berrety menjadi seorang Cassanova dari Priangan.

Antara tahun 1912 – 1934, Berrety tercatat sudah enam kali menikah dan punya lima anak.

Sekitar tahun 1915, Berrety juga menjajal menjadi wartawan bahkan berbisnis surat kabar.

Ia mengurus Koran Java Bode (Utusan Jawa), surat kabar yang terbit di Batavia.

Dengan ketampanan, uang, dan akses sebagai wartawan, Berrety menjadi sosialita kala itu.

Namun di sisi lain hidupnya penuh sorotan publik dan selalu menjadi sasaran gosip empuk.

Tingkah polah Berrety makin jadi sorotan dengan menikah berkali-kali, namun tetap memacari perempuan-perempuan, bahkan beberapa di antaranya sampai hamil.

Kabar paling tragis adalah ketika salah seorang putrinya mati gantung diri di pohon di halaman Villa Isola.

Sosok Berrety mulai jadi perhatian pemerintah setelah ia memacari putri dari Gubernur Jenderal, B.C de Jonge.

Pertemuan Berrety dengan putri de Jonge terjadi saat pesta malam Natal tahun 1934.

Pasalnya, pada saat bersamaan, Berrety disinyalir mendapat kontrak spionase dengan Jepang yang kala itu sedang mempersiapkan invasi ke Asia Tenggara.

Ada kabar menyebut, kontrak spionase dengan Jepang ini nilainya mencapai 500 ribu gulden. Hmmm, apakah Kawan Intisari jadi teringat biaya pembangunan Villa Isola?

Banyak spekulasi menduga, Berrety bukan sekadar memacari putri Gubernur Jenderal. Ia juga banyak menyerap informasi saat sedang berdua di ranjang.

Bukan cuma mengelola koran, Berrety juga membuka perusahaan telekomunikasi telegraf sendiri.

Dengan modal pinjaman, pada 1917, ia mendirikan ANETA (Algemeen Nieuws En Telegraaf Agenschap).

Menguasai koran dan telegraf, Berrety absah disebut sebagai raja media dan salah satu orang terkaya di Hindia Belanda.

Kalau mau dibandingkan sekarang, mungkin posisinya sama dengan konglomerat media zaman kini seperti Harry Tanoe, Surya Paloh, atau Chairul Tanjung.

Pada akhir Desember 1934, Berrety bertemu para investor di Belanda yang berminat membeli ANETA.

Setelah selesai urusan, ia berniat pulang memakai pesawat DC 2 “uiver” yang memuat empat awak dan tiga penumpang.

Pesawat itu juga membawa kargo 350kg surat.

Akan tetapi dalam perjalanan, tepatnya 20 Desember 1934 pesawat jatuh di Syria dekat perbatasan Irak.

Hasil penyelidikan menyebut, pesawat jatuh karena tersambar petir.

Namun gosip menyebutkan pesawat itu jatuh ditembak.

Adapun otak di belakang sabotase itu diduga adalah sang Gubernur B.C De Jonge.

Sepeninggal Berrety, Villa Isola sempat berpindah tangan kepada pemilik hotel homman saat itu yaitu Rr. J. Van Es.

Saat Jepang berkuasa, bangunan itu dijadikan markas tentara. Begitu pula ketika Hindia Belanda mencoba menguasai Indonesia.

Villa Isola berubah menjadi kawasan pendidikan, setelah berdiri Perguruan Tinggi Pendidikan Guru yang diresmikan Perdana Menteri Republik Indonesia Mr. Ali Sastroamidjojo pada 20 Oktober 1954.

Dalam perjalanannya, Villa Isola kemudian menjadi Gedung IKIP Bandung yang belakangan menjadi Universitas Pendidikan Indonesia.

Dari kampus ini telah lahir ribuan pendidik yang telah menyebar ke seluruh Indonesia.

Kini Villa Isola juga dikenal dengan nama Gedung Bumi Siliwangi.