Menengok Kekayaan Hamengkubuwono VII, Raja Mataram Yogyakarta Yang Dijuluki Sebagai Sultan Sugih

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Saking banyaknya aset, Sultan Hamengkubuwono VII dijuluki sebagai Sultan Sugih, sultan yang kaya. Banyak kemajuan terjadi Keraton Yogyakarta.
Saking banyaknya aset, Sultan Hamengkubuwono VII dijuluki sebagai Sultan Sugih, sultan yang kaya. Banyak kemajuan terjadi Keraton Yogyakarta.

Saking banyaknya aset, Sultan Hamengkubuwono VII dijuluki sebagai Sultan Sugih, sultan yang kaya. Banyak kemajuan terjadi Keraton Yogyakarta.

Intisari-Online.com -Saking banyaknya aset yang dimiliki, sampai-sampai dia mendapat julukan sebagai Sultan Sugih.

Dialah Sri Sultan Hamengkubuwono VII, raja Kesultanan Mataram Yogyakarta yang memerintah dari tahun 1877 hingga 1921.

Saat dia memimpin Belanda memang masih ikut campur dalam urusan keraton.

Meski begitu, HB VII punya caranya sendiri untuk memasukan Kesultanan Yogyakarta.

Di bawah pimpinannya, ternyata banyak perkembangan di Kasultanan Yogyakarta.

Mulai daridihapuskannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang digantikan dengan sistem ekonomi liberal.

Masa liberalisme turut mendatangkan kemakmuran bagi Keraton Yogyakarta.

Dan di momen inilah HB VII mendapat julukan"Sultan Sugih" atau sultan yang kaya.

Sri Sultan Hamengkubuwono VII menjadi salah satu Sultan Yogyakarta dengan masa pemerintahan terpanjang, yakni 44 tahun.

Pada 1921, di usianya yang telah mengijak 82 tahun, Sri Sultan Hamengkubuwono VII memilih turun takhta.

Dia juga meninggal di tahun yang sama.

HB VII lahir pada 4 Februari 1839 dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo.

Dia adalah putra tertua Sri Sultan Hamengkubuwono VI yang lahir dari permaisuri kedua, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan.

Permaisuri pertama Sultan Hamengkubuwono VI tidak memiliki anak laki-laki.

Oleh karena itu, sepeninggal Sultan Hamengkubuwono VI, GRM Murtejo sebagai putra tertua dikukuhkan oleh Belanda sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada 13 Agustus 1877.

Meski pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono VII tidak lepas dari campur tangan Belanda, di bawah pemerintahannya Kesultanan Yogyakarta mengalami kemajuan di berbagai bidang.

Kesuksesan itu diraih seiring dengan penghapusan sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial Belanda, yang diganti dengan sistem ekonomi liberal.

Sistem yang baru ini membuat bebasnya kehidupan ekonomi yang sekaligus mendorong perkembangan ekonomi di Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, sekitar 17 pabrik gula didirikan, yang terdiri dari pabrik milik kesultanan, swasta, maupun Belanda.

Meski tidak semuanya miliki kesultanan, dari setiap pabrik Sultan berhak menerima uang 200.000 florin (rupiah Belanda) dari Pemerintah Belanda.

Selain itu, Kesultanan Yogyakarta juga memperoleh pendapatan dari sewa tanah karena tanahnya digunakan sebagai jalur transportasi untuk pengangkutan tebu dari perkebunan Belanda.

Dengan pemasukan-pemasukan itu, tidak heran apabila Kesultanan Yogyakarta menjadi makmur dari segi ekonomi.

Sultan Hamengkubuwono II pun dijuluki sebagai "Sultan Sugih" (sultan kaya).

Sri Sultan Hamengkubuwono VII juga disebut sebagai pioner bagi lahirnya modernisasi di Yogyakarta.

Pada masa pemerintahannya, banyak sekolah modern didirikan bahkan putra-putri Sultan didukung untuk menuntut ilmu hingga ke Belanda.

Setiap tahunnya, terdapat peningkatan jumlah sekolah di Yogyakarta.

Di bidang seni, dibangun sekolah tari yang dimotori oleh anak Sultan Hamengkubuwono VII.

Salah satu contohnya Krido Bekso Wiromo, yang tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton, tetapi terbuka bagi masyarakat umum.

Sri Sultan Hamengkubuwono VII sendiri melahirkan karya seni tari Bedaya Sumreg, Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala.

Agar eksistensi tari semakin meluas, Sultan Hamengkubuwono VII juga mendorong penyelenggaraan pentas tari dan wayang.

Dalam hal organisasi, Sultan Hamengkubuwono VII memberikan dukungannya terhadap dua organisasi penting saat itu, yakni Budi Utomo dan Muhammadiyah.

Sultan Hamengkubuwono VII mengizinkan penyelenggaraan kongres pertama Budi Utomo dai Mataram Loge, Jalan Malioboro.

Sementara itu, pendiri Muhammadiyah diketahui berasal dari lingkungan keraton, yakni KH Ahmad Dahlan.

Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton yang disekolahkan oleh Sultan Hamengkubuwono VII hingga ke Arab Saudi.

Berkembangnya Muhammadiyah pun tidak luput dari peran Sultan Hamengkubuwono VII, yang mempunyai visi untuk memajukan organisasi politik demi negara Indonesia.

Pada awal 1920, menjelang hari jadinya ke-81, Sri Sultan Hamengkubuwono VII mengutarakan niatnya turun takhta kepada Patih Danurejo VII dan pada Pemerintah Hindia Belanda.

Sultan Hamengkubuwono VII ingin mandeg pandhita (menjadi pertapa) dan mesanggrah (beristirahat) di Pesanggrahan Ambarukmo.

Keputusan itu sebenarnya tidak lepas dari aksi Belanda yang dirasa semakin mempersempit ruang geraknya sebagai sultan.

Sri Sultan Hamengkubuwono VII kemudian menunjuk putra keempatnya, GRM Sujadi, sebagai penerusnya.

GRM Sujadi dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII pada 8 Februari 1921.

Pada 30 Desember 1921, hampir setahun setelah turun takhta, Sri Sultan Hamengkubuwono VII tutup usia dalam usia 82 tahun.

Artikel Terkait