Jejak Kelam Peristiwa Penculikan Aktivis '98, Kisah Desmond J Mahesa yang Hilang Selama Dua Bulan

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Peristiwa demo oleh aktivis di gedung DPR RI tahun 1998.
Peristiwa demo oleh aktivis di gedung DPR RI tahun 1998.

Intisari-online.com - Politikus Partai Gerindra dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa, tutup usia pada Sabtu (24/6/2023) dalam usia 57 tahun.

Sebelum menjadi politisi, Desmond dikenal sebagai salah satu aktivis pro-demokrasi yang melawan rezim Orde Baru.

Namun, perjalanan Desmond tidak mulus. Dia pernah menjadi sasaran penculikan yang dilakukan oleh aparat militer pada tahun 1998.

Penculikan aktivis pro-demokrasi terjadi antara Pemilu Legislatif Indonesia 1997 dan runtuhnya Presiden Soeharto tahun 1998.

Kasus penculikan aktivis 1997/1998 dilakukan oleh tim khusus yang disebut Tim Mawar, yang dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono.

Tim Mawar bertugas untuk menghilangkan orang-orang yang dianggap mengancam stabilitas negara.

Desmond termasuk dalam daftar 22 aktivis pro-demokrasi yang diculik oleh Tim Mawar. Mereka di antaranya.

Yani Afri,Sonny M Yusuf,Noval Alkatiri, Dedy Hamdun, Ismail, Desmond Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang, Suyat Haryanto Taslam, Aan Rusdianto, Faisol Reza, Herman Hendrawan, Mugianto, Nezar Patria, Rahardjo Walujo Djati, Bimo Petrus Anugerah, Andi Arief, Abdun Nasir, Hendra Hambalie, Ucok M Siahaan, dan Yadin Muhidin .

Dari 22 aktivis yang diculik, hanya 9 orang yang kembali, yaitu Desmond, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, dan Andi Arief. Adapun sisanya, sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya.

Desmond mengalami penculikan pada 3 Februari 1998 di kawasan Cililitan Besar, Jakarta Timur.

Saat itu, dia menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN).

Baca Juga: Menurut Pakar Hipnoterapi, Ini Penyebab Terjadinya Hubungan Sedarah: Kasus Inses Ibu-Anak di Sumatera Barat

Dia mengaku didatangi sejumlah orang tak dikenal di kantornya pada dini hari dan pagi hari.

Kemudian, dia dihadang dua orang yang menodong dengan senjata saat berada di antara LAI dan GMKI.

"Antara LAI dan GMKI, saya dihadang dua orang yang menodong dengan senjata. Sesudah ditodong, saya bergerak, kacamata saya jatuh, saya sulit mengenali orang," kata Desmond.

"Tetapi ada mobil Suzuki Vitara warna abu-abu di GMKI. Jatuhnya kacamata membuat saya tidak leluasa dapat bergerak karena mata saya minus dan silinder, jadi sulit untuk mengenal orang," lanjutnya.

"Saya diringkus, dimasukkan mobil, kepala saya ditutup seperti tas hitam dan musik diputar keras-keras serta dihimpit dua orang. Sejak itu saya tidak tahu diputar-putar, setelah 50 menit saya sampai di suatu tempat," papar Desmond.

Di tempat tersebut, Desmond diborgol dan matanya ditutup kain hitam. Dia diinterogasi selama tiga jam tentang aktivitasnya sebagai aktivis pro-demokrasi.

Setelah itu, dia dibawa ke bak air dan disuruh menyelam. Kemudian, dia dibawa ke sebuah ruangan dengan enam sel.

Di situ, sudah ada beberapa aktivis lain yang diculik sebelumnya.

"Setiap orang yang ditahan diberi celana pendek, ada berwarna biru dan jingga. Selain itu saya juga diberi tas berwarna hijau muda," kata Desmond.

Desmond mengaku mendapat tawaran dari penculik untuk mengaku bersembunyi di Garut.

Namun, dia menolak dan mengajukan skenario lain: pergi ke Irian Jaya untuk melakukan penelitian.

Baca Juga: Belajar dari Peristiwa Desmond J Mahesa Meninggal Usai Alami Sesak Napas, Waspada Gejala Serangan Jantung Mirip Masuk Angin, Fatal Jika Tak Dikenali

Selama diculik, Desmond mengatakan bahwa dia sering diperiksa pada malam hari.

"Setiap malam saya diperiksa, terutama soal aktivitas saya sebagai aktivis. Saya juga ditanya soal rencana-rencana aksi massa yang akan dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat," ujar Desmond.

Desmond baru dibebaskan pada 23 April 1998.

Dia mengaku dibawa ke sebuah tempat yang tidak diketahui dan disuruh menunggu di dalam mobil.

Setelah itu, dia diberi uang Rp 50.000 dan disuruh naik taksi menuju rumahnya.

"Saya tidak tahu di mana tempat itu, tetapi saya melihat ada tulisan 'Pasar Minggu'. Saya juga tidak tahu siapa yang membawa saya keluar dari tempat itu," kata Desmond.

Setelah dibebaskan, Desmond bertemu dengan Tim Pencari Fakta (TPF) ABRI yang terdiri dari empat mayor jenderal, yakni Komandan Pusat Polisi Militer Mayjen TNI Syamsu, Mayjen (Pol) Marwan Paris, Mayjen TNI Andi M Ghalib, dan Laksda Berty Ekel, pada 25 Mei 1998 di YLBHI, Jakarta.

Dia juga memberikan kesaksian kepada Komnas HAM dan Kontras.

Desmond menuntut agar kasus penculikan aktivis '98 diusut tuntas dan pelakunya dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dia juga meminta agar negara bertanggung jawab atas nasib aktivis yang masih hilang hingga kini.

"Kami minta agar negara memberikan perlindungan kepada kami sebagai korban penculikan. Kami juga minta agar negara memberikan informasi tentang keberadaan teman-teman kami yang masih hilang," kata Desmond.

Baca Juga: Geger Peristiwa Inses Ibu-Anak Selama 11 Tahun Di Bukittingi, Ini Bahaya Hubungan Sedarah Bagi Bayi Yang Dilahirkan

Desmond kemudian melanjutkan perjuangannya sebagai aktivis pro-demokrasi hingga era reformasi.

Dia juga terlibat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan dan profesi hukum.

Pada tahun 2009, dia terpilih menjadi anggota DPR RI dari Partai Gerindra dan terus menjabat hingga akhir hayatnya.

Desmond meninggal dunia karena penyakit jantung yang dideritanya. Dia dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada Sabtu (24/6/2023).

Dia meninggalkan seorang istri dan dua anak.

Desmond J Mahesa adalah salah satu saksi hidup dari jejak kelam penculikan aktivis '98.

Kisahnya mengingatkan kita akan pentingnya menjaga demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Artikel Terkait