Intisari-online.com - Salah satu peristiwa bersejarah dalam Kerajaan Mataram Islam adalah Perang Takhta Jawa III, yang terjadi dari tahun 1749 hingga 1757.
Perang ini melibatkan tiga tokoh penting, yaitu Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Sambernyawa.
Perang ini merupakan puncak dari konflik dinasti yang telah berlangsung sejak masa pemerintahan Pakubuwana II, yang sering tunduk pada tekanan VOC.
Pada tahun 1742, ibu kota Kerajaan Mataram Islam di Kartasura hancur akibat peristiwa Geger Pecinan.
Peristiwa ini melibatkan salah satu pangeran Mataram, yaitu Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, keponakan Pakubuwana II.
Karena Keraton Kartasura hancur, Pakubuwana II memindahkan ibu kota kerajaan ke Keraton Surakarta.
Pada tahun 1749, Pakubuwana II meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Garendi atau Pakubuwana III.
Namun, pengangkatan Pakubuwana III tidak disetujui oleh beberapa pihak, terutama oleh adik Pakubuwana II yang bernama Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi menentang kebijakan Pakubuwana III yang pro-VOC dan menganggapnya sebagai pengkhianat terhadap rakyat dan agama.
Pada tahun 1749, Pangeran Mangkubumi memberontak terhadap Pakubuwana III dan mendeklarasikan dirinya sebagai raja dengan gelar Hamengkubuwana I.
Ia mendirikan ibu kota baru di Yogyakarta dan membangun keraton di sana.
Baca Juga: Kisah Pakubuwono XI, Susuhunan Mataram Islam Surakarta yang Berkuasa di Tengah Perang Dunia II
Ia juga mendapat dukungan dari beberapa pangeran lain, seperti Pangeran Cakraningrat IV dari Madura, Pangeran Mas Said dari Ponorogo, dan Pangeran Diponegoro dari Demak.
Perang antara Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi berlangsung selama delapan tahun dengan berbagai pertempuran sengit.
Salah satu pertempuran terbesar adalah Pertempuran Grobogan pada tahun 1750, yang dimenangkan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi.
Pertempuran ini mengakibatkan kerugian besar bagi Pakubuwana III dan VOC, baik dalam hal korban jiwa maupun materi.
Perang Takhta Jawa III berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Perjanjian ini disepakati oleh Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi, dan VOC.
Isi perjanjian ini adalah membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III.
Perjanjian ini juga mengakui kedaulatan VOC atas wilayah-wilayah di Jawa.
Namun, perjanjian ini tidak memuaskan salah satu pihak yang terlibat dalam perang, yaitu Pangeran Sambernyawa.
Ia merasa tidak mendapat bagian yang adil dari pembagian wilayah dan kekuasaan.
Ia kemudian melanjutkan perlawanan terhadap VOC dan sekutunya dengan mendirikan Praja Mangkunegaran pada tahun 1757.
Baca Juga: Politikus NasDem Kena Lagi? Mentan Syahrul Yasin Limpo Dikabarkan Akan Jadi Tersangka KPK
Perlawanan Pangeran Sambernyawa berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Salatiga pada tahun 1757, yang mengakui keberadaan Praja Mangkunegaran sebagai negara bawahan VOC.
Perang Takhta Jawa III memiliki dampak yang besar bagi sejarah Jawa dan Indonesia. Perang ini mengakhiri kejayaan Kerajaan Mataram Islam yang telah berdiri sejak abad ke-16.
Perang ini juga mengubah peta politik dan budaya di Jawa, dengan munculnya empat kerajaan baru, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman (yang didirikan pada tahun 1813).
Perang ini juga memperkuat pengaruh VOC di Jawa, yang kemudian berlanjut menjadi penjajahan Belanda hingga abad ke-20.
Perang Takhta Jawa III adalah sebuah kisah perang yang sarat dengan drama persaudaraan, pengkhianatan, dan ambisi.
Perang ini menunjukkan betapa rapuhnya sebuah kerajaan yang terpecah oleh konflik internal dan intervensi asing.
Perang ini juga menunjukkan betapa gigihnya sebuah bangsa yang berjuang untuk mempertahankan identitas dan kedaulatannya.