Tak Hanya Mataram Islam, VOC Juga Ikut Campur Dalam Urusan Kerajaan Islam Lainnya Di Nusantara

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

VOC punya trek rekod yang buruk dalam hal mencampuri urusan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Mulai dari Goa di Sulawesi hingga Mataram Islam di Jawa.
VOC punya trek rekod yang buruk dalam hal mencampuri urusan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Mulai dari Goa di Sulawesi hingga Mataram Islam di Jawa.

VOC punya trek rekod yang buruk dalam hal mencampuri urusan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Mulai dari Goa di Sulawesi hingga Mataram Islam di Jawa.

Intisari-Online.com -Siapa bilang VOC hanya ikut campur dalam urusan kerajaan Mataram Islam?

Dalam catatan sejarah, perusahaan dagang dari Belanda itu ternyata terlibat di kerajaan-kerajaan Islam lainnya di nusantara.

Daftarnya membentang dari Banten hingga Makassar, dari Palembang hingga Maluku.

1. Campur tangan VOC di Banten

Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).

Sultan ini dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap VOC.

Saat Sultan Ageng Tirtayasa terlibat konflik dengan putranya, Sultan Haji, VOC menganggap hal itu sebagai kesempatan berharga.

VOC segera mendekati Sultan Haji, yang dianggap mudah dipengaruhi, untuk melakukan politik adu domba.

Akibat termakan hasutan Belanda, Sultan Haji menuduh ayahnya berupaya menyingkirkan dirinya dari takhta Kesultanan Banten.

Sultan Haji kemudian bekerjasama dengan VOC untuk mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa.

Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang merugikan Banten.

Tidak hanya itu, perjanjian yang diajukan VOC secara praktis membuat Kerajaan Banten tidak memiliki kedaulatan lagi.

2. Campur tangan VOC di Mataram Islam

Sultan Agung tidak hanya dikenal sebagai raja yang membawa kerajaannya mencapai puncak keemasan, tetapi juga sangat gigih melawan VOC.

Keterlibatan VOC di Kerajaan Mataram dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), putra sekaligus pengganti Sultan Agung.

Berbeda dari ayahnya, Amangkurat I memiliki sifat sangat kejam dan mau bersekutu dengan VOC.

Sejak awal pemerintahannya, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC, yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan VOC dan mengizinkannya untuk ikut campur urusan politik kerajaan.

Pada masa pemerintahan Amangkurat II, VOC mulai melakukan pencaplokan wilayah, mengendalikan pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa, dan memonopoli ekspor beras Mataram.

Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam intrik-intrik di kalangan keluarga kerajaan.

Selama abad ke-18, VOC terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram.

Pada akhirnya, Kerajaan Mataram harus menandatangani Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang menyebabkan kerajaan dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

3. Campur tangan VOC di Gowa-Tallo dan Bone

VOC tidak hanya memanfaatkan konflik internal kerajaan, tetapi juga perselisihan antarkerajaan, seperti yang terjadi pada Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone.

Dalam konflik dua kerajaan tersebut, VOC kembali melakukan siasat politik adu domba hingga membuat Raja Bone, yakni Aru Palaka, mau bersekutu untuk melawan Gowa-Tallo.

Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Gowa-Tallo, di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin, harus mengakui kekalahannya dan menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667.

Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Gowa-Tallo dan dua hari setelahnya Sultan Hasanuddin turun takhta.

Perjanjian Bongaya menjadi awal keruntuhan Kerajaan Gowa-Tallo, karena raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan.

Tidak hanya itu, VOC akhirnya berhasil menguasai monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur.

4. Campur tangan VOC di Kerajaan Banjar

Belanda sebenarnya telah berupaya memonopoli perdagangan di Banjar sejak awal abad ke-17, tetapi selalu diusir.

Pada abad ke-18, VOC akhirnya berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Kerajaan Banjar.

Kesempatan untuk melakukan intervensi semakin lebar, saat Pangeran Nata terlibat konflik dengan Pangeran Amir.

Pangeran Amir kemudian meminta bantuan pamannya, Arung Tarawe, untuk menyerang Kerajaan Banjar dengan pasukan orang Bugis, sedangkan Pangeran Nata meminta bantuan VOC.

Meski Sultan Nata berhasil memertahankan takhtanya, kesepakatan dengan VOC pada akhirnya merusak adat kerajaan.

Selain itu, wilayah Kerajaan Banjar juga semakin sempit karena aneksasi yang dilakukan oleh VOC.

5. Campur tangan VOC di Ternate dan Tidore

Kerajaan Ternate mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Baabullah meninggal pada 1583.

Kehidupan politik Kerajaan Ternate pun semakin kacau saat VOC datang dan memenangkan persaingan melawan bangsa barat lainnya.

Sejak saat itu, VOC memegang hak atas monopoli perdagangan dan mulai mendirikan benteng di Ternate.

Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Ternate sepenuhnya berada di bawah kendali VOC.

Hal sama juga terjadi di Kerajaan Tidore, setelah Sultan Nuku tutup usia pada 1805 M.

Kondisi di Kerajaan Tidore yang terus mengalami konflik internal segera dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruhnya.

Pada akhirnya, Kerajaan Tidore juga jatuh ke tangan Belanda.

6. Campur tangan VOC di Sumatera

Di Pulau Sumatera, VOC dengan mudah menguasai kerajaan-kerajaan Islam, kecuali Kerajaan Aceh.

Kerajaan-kerajaan Islam tersebut jatuh ke tangan VOC setelah mengadakan kontrak yang merugikan bagi mereka.

Sementara Kerajaan Aceh masih dapat menikmati kemerdekaannya sampai pertengahan abad ke-19, setelah VOC dibubarkan.

Namun, setelah terlibat peperangan selama beberapa dekade, Kerajaan Aceh harus mengakui kekuatan Belanda.

Artikel Terkait