Nasib Tragis Amangkurat III, Raja Mataram Islam yang Meninggal sebagai Tawanan di Sri Lanka

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Amangkurat III raja Mataram Islam yang meninggal di Sri Lanka.
Ilustrasi - Amangkurat III raja Mataram Islam yang meninggal di Sri Lanka.

Intisari-online.com - Raja Mataram Islam yang memerintah pada tahun 1703 hingga 1705 adalah Amangkurat III.

Ia adalah putra dari Amangkurat II yang tutup usia pada 1702.

Ia juga dikenal dengan nama Raden Mas Sutikna atau Sunan Mas.

Ia mendapat julukan Pangeran Kencet karena mengalami penyakit di bagian tumit.

Pemerintahan Amangkurat III tidak berlangsung lama karena saat itu terjadi konflik dengan pamannya, yaitu Pangeran Puger atau Pakubowono I.

Pangeran Puger adalah saudara dari Amangkurat II yang dianggap lebih pantas menjadi raja Mataram oleh sebagian besar rakyat dan pejabat kerajaan.

Konflik dengan Pangeran Puger ini kemudian menyebabkan perang yang disebut dengan Perang Suksesi Jawa I.

Amangkurat III mencoba menghancurkan pemberontakan Pangeran Puger dengan bantuan VOC, tetapi gagal.

Pangeran Puger malah mendapat dukungan VOC dan berhasil merebut takhta Mataram dengan gelar Pakubowono I pada 1705.

Amangkurat III akhirnya melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan VOC untuk mengembalikan tahtanya.

Namun, VOC menolak permintaannya dan malah mengirimnya ke Sri Lanka sebagai tawanan.

Baca Juga: Tipu Muslihat Panembahan Senopati Kirim Wanita Cantik Untuk Taklukkan Madiun di Bawah Mataram Islam

Di sana, ia wafat pada 1734 tanpa pernah kembali ke tanah Jawa.

Nasib Amangkurat III sangat tragis dan menyedihkan.

Ia adalah raja Mataram yang terakhir dikuburkan di Imogiri, makam resmi para raja Mataram sejak zaman Sultan Agung.

Ia juga adalah raja Mataram yang pertama meninggal di luar negeri sebagai tawanan kolonial.

Setelah pemerintahan Amangkurat III berakhir, Mataram Islam yang terpecah menjadi dua di solo dan Yogyakarta.

Di Solo Mataram Islam masih dipimpin oleh Pakubuwono I.

Setelah Pakubowono I naik takhta sebagai raja Mataram yang diakui oleh VOC, ia berusaha memulihkan keadaan kerajaan yang terpecah belah akibat perang suksesi.

Ia juga berusaha menjalin hubungan baik dengan VOC dan menghormati perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

Baca Juga: Mataram Islam Pecah, Sultan HB I Tinggal Sementara Di Sini Sebelum Bangun Keraton Yogyakarta

Namun, kebijakan Pakubowono I tidak disukai oleh sebagian besar rakyat dan pejabat Mataram yang merasa dirugikan oleh VOC.

Mereka menuntut agar Pakubowono I membatalkan perjanjian dengan VOC dan mengusir orang-orang Belanda dari Jawa.

Mereka juga menentang pajak-pajak yang dikenakan oleh VOC kepada rakyat Mataram.

Pemberontakan terhadap Pakubowono I dipimpin oleh Raden Mas Said, putra dari Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik Pakubowono I.

Raden Mas Said merasa tidak diakui sebagai ahli waris kerajaan oleh pamannya.

Ia juga tidak senang dengan kebijakan Pakubowono I yang tunduk kepada VOC.

Raden Mas Said mendapat dukungan dari rakyat Mataram yang menderita akibat pajak dan penindasan VOC.

Ia juga mendapat bantuan dari para ulama dan kyai yang menentang pengaruh Barat terhadap agama Islam.

Raden Mas Said memimpin pasukan pemberontak yang disebut Prajurit Mataram.

Pemberontakan Raden Mas Said berlangsung selama 20 tahun, dari 1726 hingga 1746.

Selama itu, ia berperang melawan pasukan VOC dan Mataram yang setia kepada Pakubowono I.

Ia juga berpindah-pindah tempat untuk menghindari pengejaran musuh.

Dia juga pernah bermarkas di Salatiga, Klaten, Sukoharjo, dan Madiun.

Pada 1742, Pakubowono I meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang bernama Pakubowono II.

Namun, pemberontakan Raden Mas Said tidak berhenti.

Bahkan berhasil menyerbu Kartasura, ibu kota Mataram pada 1743.

Peristiwa ini dikenal dengan nama Geger Pecinan karena banyak orang Tionghoa yang menjadi korban.

Artikel Terkait