Intisari-online.com - Ki Ageng Mangir adalah salah satu tokoh sejarah yang terkenal di tanah Jawa.
Ia adalah penguasa daerah Mangir, sebuah desa perdikan atau desa yang bebas dari kewajiban membayar upeti kepada Kerajaan Mataram.
Desa itu berada sekitar 30 km dari Mataram, di dekat tempat bertemunya Sungai Progo dan Sungai Bedok, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Ki Ageng Mangir berasal dari keturunan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Ia juga masih memiliki hubungan darah dengan Panembahan Senopati, raja pertama Mataram.
Namun, Ki Ageng Mangir tidak mau mengakui kekuasaan Mataram karena menurutnya wilayah Mangir adalah tanah perdikan Majapahit yang harus dilindungi dari pengaruh asing.
Hal ini menimbulkan konflik antara Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati.
Kedua pihak saling menyerang dan berperang selama bertahun-tahun.
Ki Ageng Mangir terkenal sebagai seorang yang tampan, gagah, berani, dan sakti mandraguna.
Ia juga memiliki senjata ampuh berupa tombak Kyai Pleret yang bisa menembus baju besi lawan.
Panembahan Senopati menyadari bahwa Ki Ageng Mangir bukanlah lawan yang mudah dikalahkan.
Baca Juga: Inilah Keterkaitan antara Kerajaan Demak dan Kerajaan Mataram Islam
Ia pun meminta saran dari patihnya, Ki Juru Martani, untuk mengalahkan Ki Ageng Mangir.
Patih itu menyarankan agar Panembahan Senopati mengirimkan putrinya yang cantik jelita, R.Ay Pembayun, untuk menjadi istri Ki Ageng Mangir.
Rencana itu berhasil. Ki Ageng Mangir jatuh cinta pada R.Ay Pembayun dan menikahinya.
Ia pun melupakan perang dan bersedia menghaturkan sembah bekti kepada Panembahan Senopati sebagai mertuanya.
Namun, di balik kebahagiaan itu tersimpan siasat jahat dari Panembahan Senopati.
Ia memerintahkan R.Ay Pembayun untuk mencuri tombak Kyai Pleret dari Ki Ageng Mangir dan membawanya ke Mataram.
R.Ay Pembayun pun melakukan perintah ayahnya dengan berat hati. Ia mencuri tombak Kyai Pleret saat Ki Ageng Mangir sedang tidur dan kabur ke Mataram.
Ki Ageng Mangir terbangun dan merasa dikhianati oleh istrinya. Ia pun marah dan mengejar R.Ay Pembayun hingga ke Mataram.
Di sana ia bertemu dengan Panembahan Senopati yang sudah menunggunya dengan tombak Kyai Pleret di tangannya.
Terjadilah pertempuran sengit antara Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati. Keduanya sama-sama sakti dan berani.
Namun, akhirnya Ki Ageng Mangir kalah karena tertusuk oleh tombak Kyai Pleret yang dipegang oleh Panembahan Senopati.
Sebelum meninggal, Ki Ageng Mangir mengucapkan kata-kata terakhirnya:
"Kanjeng Panembahan Senopati ingkang sinuhun gusti ing Mataram, Sira kalahaken aku dening tombake Kyai Pleret, Nanging sira ora bisa kalahaken aku dening budi lan laku, Sira ora bisa ngalahaken aku dening budi lan laku, Sira ora bisa ngalahaken aku dening budi lan laku."
Artinya:
"Kanjeng Panembahan Senopati yang menjadi tuan raja di Mataram, Anda mengalahkan saya dengan tombak Kyai Pleret, Namun anda tidak bisa mengalahkan saya dengan budi dan laku, Anda tidak bisa mengalahkan saya dengan budi dan laku, Anda tidak bisa mengalahkan saya dengan budi dan laku."
Kata-kata itu menunjukkan bahwa Ki Ageng Mangir masih memiliki rasa hormat kepada Panembahan Senopati sebagai mertuanya, namun juga memiliki rasa bangga kepada dirinya sendiri sebagai penguasa perdikan yang berani menantang Mataram.
Ia merasa bahwa ia lebih mulia dari Panembahan Senopati yang menggunakan siasat licik untuk mengalahkannya.