Gigihnya Perjuangan Marsinah, Sosok Aktivis Buruh Yang Diperkosa Dan Dibunuh Di Masa Orde Baru

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Aktivis buruh Marsinah meninggal dalam kondisi mengenaskan. Tubuhnya ditemukan dalam kondisi penuh luka siksaan.
Aktivis buruh Marsinah meninggal dalam kondisi mengenaskan. Tubuhnya ditemukan dalam kondisi penuh luka siksaan.

Aktivis buruh Marsinah meninggal dalam kondisi mengenaskan. Tubuhnya ditemukan dalam kondisi penuh luka siksaan.

Intisari-Online.com -Marsinah seperti mendapat dua label sekaligus.

Di sisi lain dia adalah seorang buruh yang peduli akan hak-halnya, di sisi lain dia adalah seorang wanita kuat pilih tanding.

Untuk membungkamnya sampai-sampai sekelompok orang kemudian membunuhnya.

Dialah Marsinah, ikon buruh di Indonesia.

Di Hari Buruh ini sepertinya tak berlebihan jika mengenang sepak terjang buruh asal itu.

Siapa sebenarnya Marsinah?

Marsinah merupakan aktivis buruh yang dibunuh dengan keji pada masa Orde Baru.

Marsinah merupakan buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik pembuat jam yang berada di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Semasa hidup, Marsinah dikenal vokal menyuarakan hak-hak kaum buruh.

Perjuangan Marsinah pun terpaksa terhenti setelah ia diculik, disiksa, diperkosa, hingga dibunuh pada 8 Mei 1993.

Jenazah Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di daerah Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar 200 km dari tempatnya bekerja, pada 9 Mei 1993.

Pembunuhan Marsinah pun menjadi salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di Indonesia dan menarik perhatian dunia.

Bagaimana kronologi pembunuhan Marsinah?

Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.

Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan.

Kakaknya bernama Marsini dan adiknya adalah Wijiati.

Sementara itu, ayah Marsinah bernama Astin dan ibunya adalah Sumini.

Keluarga mereka tinggal di desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.

Ketika Marsinah berusia tiga tahun, sang ibu meninggal dunia.

Setelah itu, ayahnya menikah lagi.

Kemudian, Marsinah diasuh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya.

Sejak kecil, Marsinah sudah terbiasa bekerja keras.

Sepulang sekolah, ia selalu membantu neneknya menjual gabah dan jagung.

Para guru dan teman-teman di sekolah dasar (SD) tempat Marsinah belajar menceritakan ia adalah seorang anak perempuan yang pintar, suka membaca, dan kritis.

Setamat SD, Marsinah melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 5 Nganjuk.

Setelah lulus SMP pada 1982, Marsinah kemudian mengenyam pendidikan lanjutan di SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya dari pamannya.

Marsinah sempat bercita-cita berkuliah di fakultas hukum.

Namun, karena kendala biaya, mimpi Marsinah untuk melanjutkan pendidikan pun sirna.

Ia kemudian memilih merantau ke Surabaya pada 1989 dan menumpang hidup di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga.

Marsinah pun bekerja di pabrik plastik SKW di Kawasan Industri Rungkut, tetapi gajinya jauh dari cukup sehingga ia harus mencari tambahan penghasilan dengan berjualan nasi bungkus.

Marsinah juga sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang sebelum akhirnya hijrah ke Sidoarjo dan bekerja di PT CPS pada 1990.

Selama bekerja di PT CPS, Marsinah dikenal sebagai buruh yang vokal dan selalu memperjuangkan nasib rekan-rekannya.

Marsinah adalah aktivis dalam organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) unit kerja PT CPS.

Pada awal 1993, pemerintah mengeluarkan imbauan kepada pengusaha Jawa Timur untuk menaikkan gaji pokok karyawan sebesar 20 persen.

Namun, imbauan itu tidak segera dikabulkan para pengusaha, termasuk oleh PT CPS, tempat Marsinah bekerja.

Alhasil, hal itu memicu unjuk rasa dari para buruh yang menuntut kenaikan upah.

Pada 2 Mei 1993, Marsinah terlibat dalam rapat perencanaan unjuk rasa yang digelar di Tanggulangin, Sidoarjo.

Pada 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja untuk melakukan aksi mogok.

Namun, Komando Rayon Militer (Koramil) setempat langsung turun tangan untuk mencegah aksi para buruh PT CPS tersebut.

Keesokan harinya, para buruh mogok total dan mengajukan 12 tuntutan kepada PT CPS.

Salah satu tuntutan buruh adalah kenaikan gaji pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250 per hari.

Selain itu, mereka juga meminta tunjangan Rp 550 per hari yang tetap bisa didapatkan ketika buruh absen.

Marsinah pun menjadi salah satu dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Ia masih terlibat dalam perundingan-perundingan hingga 5 Mei 1993.

Pada siang hari tanggal 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh yang dianggap menghasut rekan-rekannya untuk berunjuk rasa, digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo.

Mereka kemudian dipaksa mengundurkan diri dari PT CPS karena dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan lain bekerja.

Kala itu, Marsinah dikabarkan sempat mendatangani Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya yang sebelumnya digiring ke sana.

Namun, sekitar pukul 10 malam tanggal 5 Mei 1993, Marsinah menghilang.

Keberadaan Marsinah tidak diketahui lagi hingga jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di Nganjuk pada 9 Mei 1993.

Berdasarkan hasil autopsi, Marsinah diketahui telah meninggal dunia pada satu hari sebelum jenazahnya ditemukan, yakni pada 8 Mei 1993.

Adapun penyebab kematian Marsinah adalah penganiayaan berat.

Selain itu, Marsinah juga diketahui telah diperkosa.

Kasus pembunuhan Marsinah mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan para aktivis HAM.

Para aktivis kemudian membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) dan menuntut pemerintah menyelidiki dan mengadili para pelaku pembunuhan.

Seperti diberitakan Harian Kompas pada 10 November 1993, Presiden Soeharto meminta agar kasus Marsinah diusut dengan tuntas.

Soeharto juga menekankan agar kasus pembunuhan Marsinah tidak ditutup-tutupi.

"Masyarakat jangan berprasangka dulu sebab pemerintah akan menuntaskan kasus ini. Dan, biarkan petugas berwenang menangani kasus itu hingga selesai serta memutuskannya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, serta menghukum mereka yang bersalah," ujar Soeharto kala itu.

Ketika itu, memang muncul kerugiaan terhadap aparat terkait kasus pembunuhan Marsinah.

Sebelum pidato Soeharto, pada 30 September 1993, pemerintah telah membentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menyelidiki kasus Marsinah.

Selanjutnya, delapan orang petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi.

Salah satu orang yang ditangkap adalah Kepala Personalia PT CPS, Mutiari, yang kala itu sedang hamil.

Selain itu, pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga turut ditangkap dan diinterogasi.

Orang-orang yang ditanggap itu diketahui menerima siksaan berat, baik secara fisik ataupun mental, serta diminta mengakui telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah.

Selama proses penyelidikan dan penyidikan, Tim Terpadu telah menangkap serta memeriksa 10 orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Marsinah.

Dari hasil penyelidikan itu disebutkan bahwa Suprapto, seorang pekerja di bagian kontrol PT CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motornya di dekat rumah kos aktivis buruh itu.

Marsinah kemudian disebut dibawa ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.

Setelah tiga hari disekap, Marsinah disebut dibunuh oleh Suwono, seorang satpam di PT CPS.

Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, kemudian dijatuhi vonis 17 tahun penjara.

Sementara itu, beberapa staf PT CPS dijatuhi hukuman sekitar empat tahun hingga 12 tahun penjara.

Akan tetapi, Yudi Susanto kala itu kukuh menyatakan tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah dan dirinya hanya menjadi kambing hitam.

Ia kemudian naik banding ke Pengadilan tinggi dan dinyakan bebas.

Para staf PT CPS yang dijatuhi hukuman juga naik banding hingga mereka dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni oleh Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu mengundang kontroversi dan ketidakpuasan masyarakat.

Para aktivis terus menyuarakan tuntutan agar kasus pembunuhan Marsinah diselidiki dengan terang dan kecurigaan terhadap keterlibatan aparat militer diungkap.

Hingga kini, Marsinah masih dikenang sebagai pahlawan buruh.

Ia juga dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien. Kisah Marsinah juga telah diangkat ke dalam berbagai karya sastra dan seni pementasan.

Artikel Terkait