Intisari-Online.com -Berbicara tentang Jepang dalam Perang Dunia II tidak akan terlepas dari sosok Hideki Tojo.
Pemimpin militer Jepang tersebut dianggap sebagai penjahat perang nomor 1 di balik kebrutalan Jepang selama perang tersebut.
Namun, siapa sangka, jika kepala Hideki Tojo justru pernah dipukul oleh seorang pria bernamaShūmei Ōkawa.
Kejadian tersebut terjadi tepat saat keduanya sedang menjalani sidang kejahatan perang karena sama-sama dianggap sebagaipenjahat perang kelas-A.
Lalu, siapa sebenarnya sosok Shūmei Ōkawa? Mengapa juga dia begitu berani menampar kepala Hideki Tojo? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Nasionalis yang gemar lakukan Kudeta
Melansir Merriam Wabster's, Shūmei Ōkawa (大川 周明, Ōkawa Shūmei, 6 Desember 1886 – 24 Desember 1957) adalah seorang nasionalis Jepang dan penulis Pan-Asia yang dikenal karena publikasinya tentang sejarah Jepang, filsafat agama, filsafat India, dan kolonialisme.
Ōkawa lulus dari Universitas Tokyo pada tahun 1911 dengan gelar filsafat dan menjadi rekan awal dari advokat sayap kanan lainnya pada masa itu, Kita Ikki.
Bersama-sama mereka mendirikan Yūzonsha (Masyarakat untuk Pelestarian Esensi Nasional) yang berpengaruh pada tahun 1919.
Melalui majalahnya, Otakebi ("Teriakan Perang"), Yūzonsha menganjurkan kembalinya Jepang ke nilai-nilai militer yang lebih sederhana dari masa feodalnya serta pembentukan pemerintahan sosialis nasional.
Baca Juga: Jenazahnya Digali Kembali untuk Diadili, Inilah Sosok Paus Formosus yang Diklaim 'Penuh Dosa'
Namun, Ōkawa segera berpisah dengan Kita dan pada tahun 1924 ia mulai menerbitkan majalahnya sendiri, Nippon, yang menganjurkan pembentukan pemerintahan militer Jepang di dalam negeri dan perluasan kekuasaan Jepang ke Manchuria (Provinsi Timur Laut).
Popularitasnya terus meningkat, begitu pula identifikasinya dengan penetrasi ekonomi Jepang di Manchuria; pada tahun 1929 ia diangkat sebagai ketua Biro Penyelidikan Ekonomi Asia Timur baru pemerintah serta dosen khusus untuk akademi angkatan darat dan angkatan laut.
Pada awal tahun 1931 Ōkawa bersama dengan sekelompok perwira muda angkatan darat mengatur rencana untuk mengambil alih pemerintahan secara militer.
Meskipun kudeta itu dibatalkan, itu adalah upaya langsung pertama terhadap pemerintah oleh kelompok sayap kanan. Upaya kudeta kedua pada Oktober berikutnya juga gagal.
Namun pada tahun 1932, Ōkawa ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara sembilan tahun karena keterlibatannya dalam pembunuhan (15 Mei) Perdana Menteri Inukai Tsuyoshi.
Tampar kepala Hideki Tojo
Setelah Perang Dunia II berakhir, Sekutu mengadili Ōkawa sebagai penjahat perang kelas-A.
Melansir Britannica, Dia adalah satu-satunya dari dua puluh delapan terdakwa yang bukan anggota militer atau pejabat pemerintah.
Sekutu menyebutnya sebagai "Goebbels Jepang" dan menuduhnya telah memprovokasi Jepang untuk berperang melawan Barat.
Dalam sidang praperadilan, Okawa membantah tuduhan itu, dengan mengatakan bahwa dia hanya menerjemahkan dan memberi komentar tentang karya Vladimir Solovyov tentang geopolitik pada tahun 1924, dan sebenarnya Pan-Asianisme tidak bermaksud untuk memicu perang.
Dalam pengadilan, Ōkawa bersikap aneh– dia mengenakan piyama, duduk tanpa alas kaki, dan menampar mantan perdana menteri Hideki Tōjō sambil berteriak "Inder! Kommen Sie!" (Ayo, India!) dalam bahasa Jerman, dan lain-lain.
Baca Juga: Tak Terjebak Nafsu Duniawi, Pangeran Benowo Relakan Pajang Dikuasai Mataram Islam, Demi Agama?
Ada yang mendengarnya berkata "Ini adalah adegan pertama dari sebuah komedi!".
Psikiater Angkatan Darat Amerika Serikat Daniel Jaffe memeriksa dan melaporkan, bahwa Ōkawa tidak layak mengikuti pengadilan.
Karena itu, hakim ketua Sir William Webb (Presiden Pengadilan Tokyo) memutuskan bahwa dia mengalami gangguan jiwa dan tidak menjatuhkan hukuman padanya (terdakwa lainnya dihukum, tujuh dihukum mati dan sisanya dipenjara).
Terjemahkan Al Quran
Kontak dengan Islam dan penerjemahan Al-Quran Ōkawa kemudian dipindahkan dari penjara ke rumah sakit Angkatan Darat Amerika Serikat di Jepang.
Ternyata ia mengalami gangguan mental akibat penyakit sifilis. Maka, ia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa yang terkenal, Rumah Sakit Matsuzawa Metropolitan Tokyo.
Di sana ia menyelesaikan terjemahan Quran pertama dalam bahasa Jepang,[11] yang menurut Takeo (Abubakr) Morimoto -mantan ketua Asosiasi Muslim Jepang tahun 1971-74- dikerjakan dari tahun 1946-1948.
Setelah ia keluar dari rumah sakit pada 1948, ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya untuk menulis memoar tentang dirinya, yaitu Anraku no Mon, yang mencerminkan ketenangan yang ia dapatkan dari rumah sakit jiwa.
Baca Juga: Sosok Rakyan Jayadarma: Tanpa Kematian Tragisnya, Konsep Majapahit Bisa Jadi Tak akan Pernah Muncul