Intisari-online.com - Mataram adalah sebuah kerajaan Islam yang berkuasa di Jawa pada abad ke-17.
Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai puncak kejayaannya dengan menaklukkan sebagian besar Jawa Tengah dan Timur, serta beberapa daerah di luar pulau.
Namun, setelah Sultan Agung wafat pada 1645, Mataram mengalami kemunduran akibat kebijakan-kebijakan yang tidak populer dari raja-raja berikutnya.
Salah satu raja yang paling dibenci oleh rakyat adalah Amangkurat I, yang naik takhta pada 1646.
Amangkurat I dikenal sebagai raja yang kejam, sewenang-wenang, dan bersekutu dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).
Dia sering melakukan pembunuhan terhadap para bangsawan dan ulama yang dianggap sebagai musuh atau pesaing politiknya.
Salah satu korban pembunuhan Amangkurat I adalah ayah dari Trunojoyo, seorang bangsawan Madura yang dipaksa tinggal di Mataram setelah daerahnya ditaklukkan oleh Sultan Agung.
Trunojoyo sendiri lahir sekitar tahun 1649 di Arosbaya, Madura. Dia merupakan keturunan dari raja terakhir Madura Barat yang masih memiliki hubungan darah dengan raja-raja Majapahit.
Trunojoyo tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas, berani, dan berwibawa.
Dia juga memiliki kecintaan yang mendalam terhadap agama Islam dan budaya Madura.
Pada tahun 1674, Trunojoyo memimpin pemberontakan terhadap Mataram dengan dukungan dari pasukan Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong.
Baca Juga: Tak Terjebak Nafsu Duniawi, Pangeran Benowo Relakan Pajang Dikuasai Mataram Islam, Demi Agama?
Pasukan Makassar adalah bekas tentara Kerajaan Gowa-Tallo yang telah dikalahkan oleh VOC dan sekutu-sekutunya dalam Perang Makassar (1666-1669).
Mereka mencari tempat berlindung dan bergabung dengan Trunojoyo untuk melawan VOC dan Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo bergerak dengan cepat dan berhasil menguasai hampir seluruh pantai utara Jawa.
Pada tahun 1677, pasukan Trunojoyo mengepung dan merebut ibu kota Mataram di Plered.
Amangkurat I terpaksa melarikan diri bersama putra sulungnya, Amangkurat II, menuju Batavia untuk meminta bantuan VOC.
Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal karena sakit di Tegal.
Amangkurat II kemudian meneruskan perjalanan dan berhasil mendapatkan bantuan VOC dengan imbalan uang dan wilayah.
Sementara itu, Trunojoyo menyatakan dirinya sebagai raja baru di Mataram dengan gelar Panembahan Maduretna Panatagama.
Dia memindahkan ibu kota ke Kediri dan berusaha membangun pemerintahan yang berdasarkan pada syariat Islam dan adat Madura.
Namun, dia tidak mampu mengendalikan daerah-daerah yang telah direbutnya karena kurangnya sumber daya dan administrasi yang baik.
Dia juga menghadapi perlawanan dari beberapa pihak, seperti Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang mengklaim sebagai raja sah di Plered, Bupati Ponorogo yang setia kepada Mataram, dan Arung Palakka (pemimpin Bugis) yang bersekutu dengan VOC.
Pasukan gabungan VOC, Mataram, Ponorogo, dan Bugis berhasil mengalahkan pasukan Trunojoyo dalam beberapa pertempuran penting, seperti Pertempuran Grogol (1678), Pertempuran Kediri (1678), dan Pertempuran Payak (1679).
Trunojoyo sendiri terpaksa mundur ke daerah pedalaman Jawa Timur dan berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran musuh.
Akhirnya, pada 27 Desember 1679, Trunojoyo ditangkap oleh pasukan VOC di desa Payak, dekat Mojokerto.
Dia dibawa ke kamp VOC di Jepara dan ditahan di sebuah kapal.
Trunojoyo tidak lama menikmati statusnya sebagai tawanan VOC.
Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II datang ke Jepara untuk menemui Trunojoyo.
Raja Mataram itu masih menyimpan dendam yang mendalam terhadap Trunojoyo yang telah merebut kerajaannya dan membunuh ayahnya.
Dia pun memerintahkan agar Trunojoyo dieksekusi mati di depannya dengan cara yang kejam.
Kepala Trunojoyo dipenggal, lalu diinjak-injak dan ditumbuk-tumbuk oleh Amangkurat II.
Tubuh Trunojoyo dibuang ke laut tanpa upacara pemakaman yang layak.
Dengan kematian Trunojoyo, pemberontakan terhadap Mataram pun berakhir.