Intisari-online.com - Salah satu jenderal perang yang setia mendampingi Sultan Agung dalam memerangi VOC di Batavia adalah Purbaya.
Namun cerita tentang pangeran Purbaya masih menjadi perdebatan hingga kini.
Dikisahkan dalam catatan kolonial, terlibat dalam pertempuran-pertempuran melawan Belanda, yang dikenal dengan gelar Pangeran Purbaya.
Perlawanannya dilakukan sekitar tahun 1628 - 1629 di Batavia.
Pada serangan pertama, Purbaya membawa 59 perahu dan 900 prajurit untuk mendarat di Teluk Jakarta dan mengepung benteng VOC dari arah barat.
Namun, serangan ini tidak berhasil karena VOC memiliki bala bantuan dari berbagai bangsa dan daerah, seperti Jepang, Cina, India, Afrika, Maluku, Sulawesi, dan Jawa.
Selain itu, VOC juga memiliki senjata yang lebih maju dan modern.
Pada serangan kedua, Purbayan membawa 100 perahu dan 1.500 prajurit untuk mendarat di Tanjung Priok dan menyerbu benteng VOC dari arah utara.
Serangan ini lebih sukses daripada serangan pertama, karena pasukan Mataram berhasil masuk ke dalam benteng VOC dan membakar beberapa kapal dan gudang VOC.
Namun, serangan ini juga tidak berhasil karena VOC kembali mendapat bantuan dari sekutu-sekutunya dan melakukan serangan balasan dengan kekuatan penuh.
Walaupun tidak berhasil mengalahkan VOC di Batavia, peran Purbayan dalam perang melawan VOC tidak bisa disepelekan.
Ia adalah salah satu tokoh sejarah yang berani dan setia kepada Sultan Agung.
Kemudian ia juga berjasa dalam membangun Kampung Wisata Purbayan di Kotagede, Yogyakarta, yang menjadi pusat kerajinan tanduk dan kuliner khas Legomoro dan Kembang Waru.
Selain itu, ia juga mendirikan Masjid Agung Kotagede yang menjadi salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Islam.
Setelah serangan kedua, Sultan Agung tidak lagi mengirim pasukan ke Batavia, tetapi memusatkan perhatiannya pada penaklukan Banten.
Namun, upaya ini juga tidak berhasil karena Banten mendapat bantuan dari VOC.
Akhirnya, Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dan digantikan oleh putranya, Amangkurat I.
Amangkurat I berbeda dengan ayahnya, yang sangat anti terhadap Belanda dan berhasil membawa Kerajaan Mataram Islam menuju puncak kejayaan.
Amangkurat I dikenal sebagai raja yang kejam dan lunak terhadap Belanda.
Ia bahkan memilih bersekutu dengan VOC daripada meminta dukungan rakyatnya sendiri.
Selama pemerintahan Amangkurat I, terjadi banyak pemberontakan, salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Trunojoyo.
Dalam pemberontakan itu, Amangkurat I meninggal dalam pelarian untuk memintan bantuan VOC.
Setelah itu, putranya yang bernama Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerjasama dengan VOC untuk melumpuhkan Trunojoyo.
Trunojoyo berhasil dilumpuhkan dan takhta Kesultanan Mataram diberikan kepada Adipati Anom dengan gelar Amangkurat II.
Baca Juga: Benteng Kokoh dan Senjata Modern, Rahasia Surabaya Bertahan dari Serangan Mataram Islam
Sebagai imbalan atas pemberian bantuan militernya, VOC pada 1677 dan 1678 memberikan tiga berkas kontrak baru kepada Amangkurat II.
Kontrak baru tersebut menyatakan bahwa batas daerah VOC sebelah timur mencapai Sungai Pamanukan.
Selain itu, seluruh biaya perang yang dikeluarkan VOC harus dibayar oleh Amangkurat II.
Apabila belum dapat dilunasi, maka semua pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa harus digadaikan kepada VOC.
Selain itu, ekspor beras Mataram dan impor barang-barang manufaktur serta tekstil menjadi monopoli VOC.
Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam pertentangan di kalangan keluarga kerajaan.
Kondisi Mataram semakin tidak menentu dan mencapai puncaknya pada 1755, saat terjadi Perjanjian Giyanti, yang menyebabkan kerajaan harus dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta.
Dengan demikian, berakhir sudah masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa.