Intisari-online.com - Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah mengalami penjajahan oleh dua negara asing, yaitu Belanda dan Jepang.
Penjajahan Belanda berlangsung selama lebih dari tiga abad, sedangkan penjajahan Jepang hanya berlangsung selama tiga setengah tahun, yaitu dari 1942 hingga 1945.
Meskipun singkat, penjajahan Jepang tidak kalah kejam dan menindas rakyat Indonesia.
Salah satu daerah yang mengalami penindasan Jepang adalah Jawa Barat, yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam.
Kerajaan Mataram Islam sendiri merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara yang pernah berdiri sejak abad ke-16 hingga abad ke-18.
Kerajaan ini dipimpin oleh beberapa raja yang terkenal, seperti Sultan Agung, Amangkurat I, dan Pakubuwono II.
Ketika Jepang datang ke Indonesia, Kerajaan Mataram Islam sudah mengalami kemunduran dan terpecah menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Kedua kerajaan ini awalnya bersikap kooperatif dengan Jepang, karena menganggap Jepang sebagai saudara Asia yang dapat membantu Indonesia melepaskan diri dari Belanda.
Namun, sikap kooperatif ini berubah menjadi perlawanan ketika Jepang mulai menunjukkan wajah aslinya sebagai penjajah yang brutal dan rakus.
Salah satu bentuk perlawanan rakyat Mataram Islam terhadap penjajahan Jepang adalah pemberontakan Sabilillah.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Ki Bagus Hadikusumo, seorang ulama dan tokoh pergerakan Islam yang berasal dari Yogyakarta.
Baca Juga: Kisah Panembahan Senopati, Pendiri Mataram Islam yang Berasal Dari Wangsa Majapahit
Ki Bagus Hadikusumo merupakan anggota Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), sebuah organisasi politik Islam yang didirikan pada 1943.
Ki Bagus Hadikusumo namanya adalah Hidayat atau Raden Hidayat.
Pada waktu itu Raden menunjukkan ciri sebagai aristokrat atau kebangsawanan.
Ki Bagus Hadikusumo memang datang dari keluarga bangsawan yang tinggal di Kauman, kawasan yang amat sangat dekat dengan istana keraton Ngayogyakarto.
Pemberontakan Sabilillah dimulai pada 14 Oktober 1944 di daerah Bantul, Yogyakarta.
Pemberontakan ini melibatkan sekitar 2.000 orang laskar Sabilillah, yaitu pasukan perang yang terdiri dari para santri dan ulama yang berjuang di jalan Allah.
Nama Sabilillah sendiri berasal dari kata sabil atau sabiliyyah, yang berarti jalan Allah atau jihad fi sabilillah.
Tujuan pemberontakan Sabilillah adalah untuk menentang kebijakan-kebijakan Jepang yang merugikan rakyat Indonesia, seperti romusha (kerja paksa), seikerei (penghormatan kepada kaisar Jepang), dan shumi senyo (pemerasan hasil bumi).
Selain itu, pemberontakan ini juga bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) di bawah naungan Masyumi.
Pemberontakan Sabilillah mendapat dukungan dari beberapa tokoh nasionalis dan agamis, seperti Soekarno, Hatta, Wahid Hasyim, Mas Mansur, dan lain-lain.
Namun, pemberontakan ini juga mendapat tentangan dari beberapa pihak lain, seperti PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan bantuan Jepang), dan para priyayi (bangsawan) yang masih setia kepada Jepang.
Baca Juga: Mengapa Kerajaan Mataram Islam Dibagi Dua Usai Perjanjian Giyanti? Semata karena Polah VOC?
Pemberontakan Sabilillah berlangsung selama sekitar dua bulan, hingga akhirnya dapat dipadamkan oleh tentara Jepang pada 12 Desember 1944.
Dalampemberontakan Sabilillah adalah menunjukkan semangat perlawanan rakyat Mataram Islam terhadap penjajahan Jepang yang tidak menghormati hak-hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pemberontakan ini juga menumbuhkan kesadaran nasionalisme dan Islamisme di kalangan rakyat Mataram Islam, yang kemudian berperan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia setelah Jepang menyerah kepada sekutu.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai