Geger Pecinan Bikin Mataram Islam Pindah Istana Untuk Kali Kelima

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Setelah berhasil mengalahkan pemberontakan Geger Pecinan, Pakubuwono II ogah menempati Keraton Kartasura. Dia pun memindahkan ibukota Mataram Islam ke Sala alias Surakarta.
Setelah berhasil mengalahkan pemberontakan Geger Pecinan, Pakubuwono II ogah menempati Keraton Kartasura. Dia pun memindahkan ibukota Mataram Islam ke Sala alias Surakarta.

Setelah berhasil mengalahkan pemberontakan Geger Pecinan, Pakubuwono II ogah menempati Keraton Kartasura. Dia pun memindahkan ibukota Mataram Islam ke Sala alias Surakarta.

Intisari-Online.com -Geger Pecinan ternyata punya dampak besar terhadap keberlangsungan Mataram Islam.

Gara-gara peristiwa ini Mataram Islam pindah keraton untuk kali kalima.

Keraton pertama di Kotagede, keraton ketiga di Karta, keraton ketiga di Pleret, keraton keempat di Kartasura, keraton kelima di Sala alias Surakarta.

Dan bisa dibilang, perpindahan keraton Mataram Islam dari Kartasurat ke Surakarta menjadi perpindahan paling bersejarah dalam dinasti tersebut.

Peristiwa itu terjadi pada 1745.

Keraton Kartasura didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada tahun 1680.

Amangkurat II mendirikan Keraton Kartasura setelah Keraton Pleret diduduki oleh pasukan Trunojoyo dari Madura.

Seperti disebut di awal, Keraton Kartasura menjadi istana keempat Mataram Islam setelah Kotagede, Kerto atau Karta, dan Pleret ang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Keraton Kartasura sekarang masuk wilayah Desa Ngadirejo, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Keraton Kartasura mengalami masa-masa sulit akibat konflik internal dan eksternal yang mengancam kestabilan kerajaan.

Salah satu konflik yang paling mengguncang adalah Geger Pacinan pada tahun 1740.

Peristiwa ini adalah respon atas peristiwa pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 1740.

Salah satu tokoh yang terlibat dalam peristiwa Geger Pecinan adalah Raden Mas Garendi yang nanti diangkat oleh para pemberontak menjadi Amangkurat V atau Sunan Kuning.

Pakubuwono II, raja Mataram Islam saat itu, awalnya mendukung gabungan tentara Jawa dan Tionghoa.

Tapi di tengah jalan, Pakubuwono II lebih memilih berada di kubu VOC.

Karena itulah gabungan pasukan Jawa dan Tionghoa akhirnya menyerbut Keraton Kartasura denganmenjebol bentengnya menggunakan mesiu.

Pakubuwono II yang terdesak akhirnya melarikan diri ke Ponorogo dan meninggalkan keratonnya dalam kondisi porak-poranda.

Raden Mas Garendi kemudian diangkat sebagai Amangkurat V.

Namun, pemberontakan ini tidak bertahan lama karena VOC mengirim bantuan untuk menumpas pemberontak dan mengembalikan Pakubuwono II ke tahtanya.

Meskipun sudah kembali berkuasa, Pakubuwono II merasa tidak aman tinggal di Keraton Kartasura yang sudah rusak dan bernoda darah.

Dia kemudian memutuskan untuk membangun ibu kota baru di Desa Sala yang kemudian dikenal sebagai Surakarta.

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri dan ditempati sejak tahun 1745.

Dan sejak itu Keraton Kartasura sendiri tidak pernah ditempati lagi.

Perpindahan Keraton Mataram Islam dari Kartasura ke Sala merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia karena menandai berakhirnya masa kejayaan Mataram Islam.

Sementara di sisi lain, kedudukan VOC di Jawa semakin kuat.

Perpindahan ini juga mempengaruhi perkembangan sosial-budaya masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya.

Artikel Terkait