Intisari-online.com - Suku Dayak adalah salah satu suku yang terkenal di Indonesia karena keberanian dan keunikan budayanya.
Suku Dayak mendiami Pulau Kalimantan yang memiliki hutan lebat dan alam yang kaya.
Namun, kehidupan suku Dayak tidak selalu damai. Mereka pernah menghadapi ancaman dari penjajah Belanda yang ingin menguasai tanah mereka.
Pada masa penjajahan, tiap etnis dan daerah memiliki perjuangannya sendiri dalam melawan tentara lawan.
Salah satunya adalah Suku Dayak yang berperang melawan Belanda dengan cara yang luar biasa.
Mereka menyiapkan pasukan yang mereka sebut dengan pasukan hantu atau ghost warrior.
Pasukan hantu ini bukanlah pasukan biasa. Konon mereka mendapat kekuatan arwah leluhur atau mahluk halus suku Dayak yang dipanggil kembali untuk melindungi bumi Borneo dari bahaya yang mengancam.
Pasukan hantu ini hanya berbekal senjata tradisional khas suku Dayak yaitu sumpit beracun dan mandau.
Sumpit beracun adalah senjata yang digunakan dengan cara ditiup dan nantinya akan keluar sumpit tersebut.
Sumpit itu bukan sumpit biasa. Sumpit yang digunakan oleh pasukan Dayak sebagai senjata adalah sumpit beracun.
Pasukan Dayak akan mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren yang beracun.
Sedangkan mandau adalah senjata tajam yang mirip dengan pedang atau parang. Mandau memiliki bentuk melengkung dan ujungnya runcing.
Mandau juga dihiasi dengan bulu-bulu burung atau rambut manusia sebagai simbol keberanian dan kekuatan.
Pasukan hantu ini sangat ditakuti oleh tentara Belanda karena kemampuan perang mereka. Pasukan Dayak sangat lihai dalam menguasai medan peperangan di hutan.
Mereka bisa berbaur dengan alam, berkamuflase, dan memanfaatkan medan yang ada untuk bergerak.
Pergerakan mereka juga seperti "hantu". Mereka bisa muncul dan menghilang secara tiba-tiba, menyerang dari arah yang tidak terduga, dan menghilangkan jejak.
Tentara Belanda dibuat kocar-kacir oleh pasukan hantu ini. Banyak dari mereka yang tewas karena terkena sumpit beracun atau mandau.
Bahkan, ada cerita bahwa pasukan Dayak juga memenggal kepala musuh mereka sebagai trofi perang.
Kepala-kepala itu kemudian disimpan di rumah adat suku Dayak sebagai simbol kemenangan dan kehormatan.
Kisah pasukan hantu Dayak ini merupakan salah satu contoh dari perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan.
Pasukan hantu Dayak menunjukkan bahwa dengan keberanian, kepercayaan, dan kearifan lokal, mereka bisa mengusir musuh yang lebih kuat dan lebih modern.
Merekamenjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk tetap menjaga dan melestarikan budaya leluhur mereka.
Baca Juga: Kisah Ngabe Anom Soekah, Pemimpin Suku Dayak yang Ditakuti Belanda Konon Pasukannya Kebal Peluru
Pasukan hantu Dayak tidak hanya berperang melawan Belanda, tetapi juga melawan Jepang dan Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, pasukan hantu Dayak juga melakukan perlawanan bersenjata.
Mereka menolak untuk bekerja paksa atau romusha yang diperintahkan oleh Jepang. Mereka juga menolak untuk menyerahkan hasil bumi mereka kepada Jepang.
Salah satu tokoh pejuang Dayak yang berperan dalam perlawanan terhadap Jepang adalah Ngabe Anom Soekah.
Ia adalah kepala kampung Pahandut yang berasal dari suku Dayak Ngaju. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, berani dan memiliki kepedulian sosial tinggi.
Selain itu, ia juga memiliki kemampuan spiritual yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat Dayak.
Ngabe Anom Soekah memimpin pasukan hantu Dayak untuk melawan Jepang dengan cara gerilya.
Ia menggunakan sumpit beracun dan mandau sebagai senjata utamanya.
Kemudian, iajuga mengandalkan ilmu gaib dan mantra untuk melindungi diri dan pasukannya dari peluru Jepang. Konon, pasukannya kebal peluru dan bisa menghilang di tengah pertempuran1.
Perlawanan Ngabe Anom Soekah berhasil membuat Jepang kewalahan dan takut. Banyak tentara Jepang yang tewas karena terkena sumpit beracun atau mandau.
Bahkan, ada cerita bahwa Ngabe Anom Soekah berhasil membunuh seorang perwira senior Jepang bernama Mayor Yamamoto dengan sumpit beracun.
Perlawanan Ngabe Anom Soekah berakhir pada tahun 1944, ketika ia ditangkap oleh tentara Jepang di kampungnya.
Ia dibawa ke Palangka Raya dan disiksa secara brutal oleh Jepang. Ia meninggal dunia akibat penyiksaan tersebut pada tahun 1945.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pasukan hantu Dayak juga terlibat dalam beberapa konflik bersenjata dengan pemerintah Indonesia.
Salah satu konflik terbesar adalah Perang Majang Desa yang terjadi pada tahun 1862-1865.
Perang ini dipicu oleh kebijakan Belanda yang mengenakan pajak kepada rakyat Dayak dan mengganggu hak-hak adat mereka.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai