Kisah Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro Kanjeng Kiai Tjokro Ratusan Tahun Disimpan Belanda

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tongkat pusaka Pangeran Diponegoro Kanjeng Kiai Tjokro yang puluhan tahun tersimpan di Belanda.
Tongkat pusaka Pangeran Diponegoro Kanjeng Kiai Tjokro yang puluhan tahun tersimpan di Belanda.

Tongkat pusaka Pangeran Diponegoro Kanjeng Kiai Tjokro yang puluhan tahun tersimpan di Belanda.

Intisari-Online.com -Setelah puluhan tahun singgah di Belanda, tongkat pusaka Pangeran Diponegoro Kanjeng Kiai Tjokro akhirnya pulang ke Indonesia.

Kejadian itu terjadi pada Februari 2015.

Tongkat "pulang" ke Indonesia saat pembukaan pameran seni rupa "Aku Dipengoro" di Galeri Nasional Indonesia yang berlangsung pada 5 Februari 2015.

Tongkat pusaka Pangeran Diponegoro itu terbuat dari kayu mahoni dengan panjang 153 cm.

Benda pusaka itu diserahkanoleh kakak beradik Michiel dan Erica Lucia Baud kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan.

Saaat penyerahan, datangperwakilan Kedutaan Besar Jerman, Kedutaan Besar Belanda, Goethe Institut, Erasmus Huis.

Ada jugatiga kurator pameran: Jim Supangkat, Werner Kraus, dan Peter Carey.

Bagi beberapa kalangan, pengembalian tongkat pusat Pangeran Diponegoro itu mengejutkan.

Bagaimana tidak,pada awalnya keluarga Baud meminta agar acara ini dirahasiakan hingga pembukaan pameran Kamis malam lalu.

Michiel Baud mengatakan, keluarganya menerima tongkat itu pada tahun 1834 dari Adipati Notoprojo, keluarga keturunan Sunan Kalijaga.

"Kamidihubungi Harm Steven (kurator di Rijks Museum Belanda), katanya itu milik Pangeran Diponegoro," katanya ketika itu.

"Hari ini kami bawa ke sini untuk rakyat Indonesia."

Tongkat pusaka Kanjeng Kiai Tjokrokonon dibuat untuk seorang Sultan Demak pada abad ke-16.

Tongkat pusaka ziarah ini diberikan kepada Pangeran Diponegoro pada 1815 oleh seorang warga biasa asal Jawa, kemudian digunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa bagian selatan.

Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi benda pusaka sangat penting bagi Diponegoro karena terdapat simbol cakra di ujung atas tongkat.

Berdasarkan mitologi Hindu, cakra sering digambarkan sebagai senjata yang digenggam.

Menurut Peter Carey, sejarawan spesialis Pangeran Diponegoro,tongkat tersebut diperoleh Pangeran Diponegoro dari warga pada sekitar tahun 1815.

Tongkat itu lantas digunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa selatan, terutama di Yogyakarta.

Itu terjadi sebelum Diponegoro mengobarkan perang terhadap Hindia Belanda pada 1825-1830.

JC Baud menerima tongkat ziarah Diponegoro, yang juga disebut tongkat Kanjeng Kiai Tjokro, dari Pangeran Adipati Notoprojo.

Notoprojo adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.

Notoprojo dikenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda.

Ia pula yang membujuk salah satu panglima pasukan Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, untuk menyerahkan diri kepada pasukan Hindia Belanda pada 16 Oktober 1829.

Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dipersembahkan Notoprojo kepada JC Baud saat inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau tahun 1834.

Kemungkinan Notoprojo berusaha mengambil hati penguasa kolonial Hindia Belanda.

Sejak 1834, Baud dan keturunannya di Belanda merawat tongkat ziarah Diponegoro itu sampai Kamis malam lalu dipulangkan kembali ke Tanah Air.

Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Diponegoro.

Terutama dari simbol cakra di ujung atas tongkat sepanjang 153 sentimeter itu.

Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.

Diponegoro kemudian menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.

Perang juga dianggap sebagai pemulihan keseimbangan masyarakat.

"Panji pertempuran Diponegoro menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang," kata Peter.

Artikel Terkait