Tak Hanya Pejabat Zaman Sekarang, Pejabat Zaman VOC Dan Elite Batavia Juga Hobi Pamer Kekayaan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Pamer kekayaan alias flexing juga dilakukan pada pejabat VOV dan para elite Batavia pada zaman dulu. Sekarang nular ke pejabat-pejabat negara.
Pamer kekayaan alias flexing juga dilakukan pada pejabat VOV dan para elite Batavia pada zaman dulu. Sekarang nular ke pejabat-pejabat negara.

Pamer kekayaan alias flexing juga dilakukan pada pejabat VOV dan para elite Batavia pada zaman dulu. Sekarang nular ke pejabat-pejabat negara.

Intisari-Online.com -Siapa bilang pamer kekayaan hanya dilakukan pejabat-pejabat zaman sekarang?

Pejabat-oejabat zaman VOC juga gemar pamer kekayaan alias flexing.

VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie adalah sebuah perusahaan dagang Belanda yang berdiri pada tahun 1602 dan beroperasi hingga 1799.

VOC memiliki monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia dan menjadi salah satu perusahaan dagang terbesar di dunia pada abad ke-17.

Namun, di balik kesuksesannya, VOC juga menorehkan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia dengan menindas dan mengeksploitasi rakyat dan sumber daya alamnya.

Tak hanya itu, para pejabat VOCjuga gemar memamerkangaya hidup mewah dan pamer kekayaan.

Begitu juga dengan para elite yang ada di Batavia, ibu kota Hindia Belanda.

Batavia pada masa itu dijuluki Queen of the East atau Ratu dari Timur karena kemakmuran dan kejayaannya.

Kota ini dipenuhi dengan rumah-rumah besar, taman-taman, kanal-kanal, gereja-gereja, dan benteng-benteng yang dibangun dengan gaya arsitektur Eropa.

Para pejabat VOC dan orang-orang Eropa terkaya cenderung ingin memiliki tempat tinggal menyerupai rumah-rumah terbaik di negara asalnya.

Sehingga area di tepi kanal kerap jadi pilihan untuk membangun rumah karena lebih nyaman dan bergengsi.

Selain itu, mereka juga menyukai area terbuka di depan setiap rumah, yang biasa digunakan untuk duduk-duduk, merokok, atau minum anggur.

Rumah-rumah mereka juga dilengkapi dengan perabotan mewah, porselen Cina, lukisan-lukisan, dan barang-barang seni lainnya.

Tidak hanya rumah, para pejabat VOC dan kalangan elite juga gemar memamerkan kekayaan mereka melalui pakaian, perhiasan, kendaraan, dan pesta-pesta.

Mereka mengenakan pakaian gaya Eropa yang berwarna-warni, berenda-renda, dan bertatahkan emas atau perak.

Mereka juga mengenakan perhiasan seperti cincin, kalung, anting-anting, gelang, atau bros yang berlian atau permata.

Mereka juga sering bepergian dengan kereta kuda atau bendi Eropa yang mewah dan didampingi oleh para budak.

Mereka juga mengadakan pesta-pesta besar untuk merayakan hari-hari penting seperti ulang tahun, pernikahan, atau pelantikan.

Pesta-pesta itu biasanya dihadiri oleh ratusan tamu dari kalangan elite dan disuguhi dengan makanan-makanan lezat, minuman-minuman keras, musik-musik hidup, tarian-tarian, dan kembang api.

Gaya hidup mewah dan pamer kekayaan ini tentu saja menimbulkan ketimpangan sosial yang besar antara para pejabat VOC dan kalangan elite dengan rakyat jelata.

Rakyat jelata hidup dalam kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan ketakutan akibat penindasan VOC.

Banyak rakyat yang menjadi budak atau pekerja paksa untuk memenuhi kebutuhan perdagangan VOC.

Banyak pula rakyat yang menjadi korban perang atau pembantaian yang dilakukan oleh VOC untuk menghancurkan perlawanan-perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal.

Gaya hidup mewah dan pamer kekayaan ini juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pejabat VOC sendiri.

Banyak pejabat VOC yang merasa tersaingi atau iri dengan pejabat lain.

Gaya hidup mewah dan pamer kekayaan ini tidak hanya menimbulkan ketimpangan sosial dan ketidakpuasan di kalangan pejabat VOC sendiri.

Tapi juga menimbulkan masalah keuangan dan kekuasaan bagi VOC.

VOC juga harus membayar utang-utang yang menumpuk akibat korupsi dan pemborosan anggaran.

VOC bahkan sering diartikan sebagai Vergaan Onder Corruptie, yang berarti tenggelam karena korupsi.

Pada akhirnya, VOC resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada 31 Desember 1799.

VOC meninggalkan hutang sebesar 140 juta gulden dan warisan sejarah yang kelam bagi bangsa Indonesia.

Artikel Terkait