Intisari-online.com - Belakangan ini ramai kasus Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menjadi sorotan.
Hal itu berawal dari cuitan kasar salah satu pegawai yang merespon keluhan masyarakat.
Hal itu berawal dari developer game Indonesia yang bercerita sering menang award dari luar negeri dan kena pajak bea cukai saat tiba di Indonesia.
Namun, akun @wadawidy, yang merupakan pegawai bea cukai justru merespon dengan kata tak pantas dan menghina.
"Sebelum lo ngetwit, mending belajar dulu deh ketentuan impor gimana. Kalo sekarang kan jadinya bacot tapi minim literasi peraturan," tulisnya.
"2013 sampai sekarang masak gak pernah baca. Baca dulu dong jangan cuma ngeluh tapi lo-nya juga nggak cari tahu," imbuhnya.
"Nggak perlu jadi (pegawai) Bea Cukai buat ngasih paham barang impor ya wajib bayar pajak impor, dan jangan menggeneralisir case lo dengan bawa WNI se-Indonesia komplain," tambahnya.
Hal ini pun membuat warganet kemudian menyerang, namun justru membuat pegawai bea cukai Widy Heriyanto making meradang.
Ia menyebut netizen yang membela sebagai babu, hal ini pun membuatnya trending belakangan ini.
Lantas berbicara mengenai bea cukai di Indonesia, sebenarnya bagaimana sejarahnya?
Bea cukai adalah pungutan yang dikenakan oleh negara atas barang-barang yang masuk atau keluar dari wilayah pabean.
Cukai adalah pungutan yang dikenakan oleh negara atas barang-barang tertentu yang diproduksi atau diimpor ke dalam wilayah pabean.
Bea cukai dan cukai merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
Sejarah bea cukai di Indonesia dapat ditelusuri sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara.
Kata “bea” berasal dari bahasa Sanskerta, sedangkan “cukai” berasal dari bahasa India.
Pada masa itu, kelembagaan bea cukai masih bersifat lokal sesuai dengan wilayah kerajaan.
Di pelabuhan-pelabuhan di Sumatra dan Jawa, biasanya terdapat syahbandar yang menangani bea cukai dan dikepalai oleh seorang pejabat tumenggung.
Ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mulai memonopoli perdagangan di Nusantara, pungutan untuk aktivitas ekspor-impor dikenal dengan “tarif tol”.
VOC juga mengatur sistem monopoli dagang dan mengeluarkan peraturan-peraturan yang menguntungkan dirinya sendiri.
Pada masa penjajahan Belanda, bea cukai dikenal dengan nama De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (I.U & A) atau Dinas Bea Impor dan Bea Ekspor serta Cukai.
Tugasnya adalah memungut invoer-rechten (bea impor/masuk), uitvoer-rechten (bea ekspor/keluar), dan accijnzen (excise/cukai).
Pada masa pendudukan Jepang, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tentang Pembukaan Kantor-kantor Pemerintahan di Jawa dan Sumatera tanggal 29 April 1942, tugas pengurusan bea impor dan bea ekspor ditiadakan.
Bea cukai sementara hanya mengurusi cukai saja.
Lembaga bea cukai setelah Indonesia merdeka dibentuk pada tanggal 1 Oktober 1946 dengan nama Pejabatan Bea dan Cukai.
Saat itu Menteri Muda Keuangan, Sjafrudin Prawiranegara, menunjuk R.A Kartadjoemena sebagai Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama.
Tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari lahir bea cukai Republik Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1948, istilah Pejabatan Bea Cukai berubah menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan sampai tahun 1965.
Setelah tahun 1965 hingga sekarang, namanya menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)2.
Fungsi dan tugas DJBC adalah melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai.
Yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai; melaksanakan fasilitasi terhadap kegiatan usaha di bidang kepabeanan dan cukai; serta melaksanakan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.