Intisari-online.com - Kasus transaksi janggal di lingkungan Kementerian Keuangan terus memanas.
Kali ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menyebutkan nilainya mencari Rp349 Triliun.
"Saya waktu itu sebut Rp300 triliun, sudah diteliti lagi, ternyata Rp349 triliun," katanya.
Namun, Mahfud menjelaskan bahwa dugaan ini terkait tindak pidana pencucian uang (TPPPU), yang melibatkan pegawai di luar Kemenkeu atau perusahaan lain.
"Itu tetap dihitung sebagai perputaran uang. Jadi jangan berasumsiu bahwa pegawai di Kemenkeu korupsi Rp349 T, enggak, ini transaksi mencurigakan yang melibatkan dunia luar," terangnya.
Sementara itu, ternyata kasus pencucian uang yang melibatkan dunia luar ternyata tercatat dalam sejarah pernah terjadi di Indonesia.
Salah satu kasus penyeludupan uang terbesar di Indonesia adalah kasus Tommy Soeharto pada tahun 2000.
Tommy Soeharto adalah putra bungsu mantan presiden Soeharto yang divonis 18 bulan penjara karena korupsi dalam pembelian lahan pertanian di Lampung pada tahun 1995.
Namun, ia melarikan diri dan menjadi buron selama lebih dari setahun.
Pada November 2000, Tommy Soeharto ditangkap oleh polisi di Jakarta setelah melakukan pembunuhan terhadap hakim agung Syafiuddin Kartasasmita yang memvonisnya.
Dalam penggeledahan rumahnya, polisi menemukan sekitar Rp1 triliun rupiah dalam bentuk mata uang asing dan emas batangan yang disembunyikan di bawah lantai kayu.
Menurut polisi, uang tersebut merupakan hasil penyeludupan dari Singapura dan Malaysia melalui jalur laut dengan menggunakan kapal-kapal milik Tommy Soeharto.
Uang tersebut diduga digunakan untuk mendanai kegiatan politik dan bisnis Tommy Soeharto serta untuk membayar orang-orang yang membantunya melarikan diri.
Kasus ini menimbulkan kontroversi dan kritik publik terhadap pemerintah yang dinilai tidak mampu menegakkan hukum dan memberantas korupsi di Indonesia.
Kasus ini juga menunjukkan betapa besarnya pengaruh keluarga Soeharto dalam perekonomian dan politik Indonesia meskipun sudah lengser dari kekuasaan.
Setelah ditangkap dan diadili, Tommy Soeharto divonis 15 tahun penjara pada tahun 2002.
Ia juga dikenakan denda Rp30 miliar dan pengembalian uang negara sebesar Rp1 triliun.
Namun, ia hanya menjalani hukuman selama empat tahun dan dibebaskan pada Oktober 2006 dengan alasan remisi.
Selain kasus pembunuhan hakim agung dan korupsi lahan pertanian, Tommy Soeharto juga terlibat dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merupakan skandal keuangan terbesar di Indonesia.
BLBI adalah dana darurat yang disuntikkan pemerintah kepada bank-bank swasta dan BUMN yang mengalami krisis likuiditas akibat krisis moneter pada tahun 1997-1998.
Salah satu bank yang menerima BLBI adalah Bank Pesona Utama milik Tommy Soeharto.
Bank ini memperoleh dana bantuan likuiditas senilai Rp2,33 triliun.
Namun, dana tersebut diduga disalahgunakan oleh Tommy Soeharto untuk kepentingan pribadi dan bisnisnya.
Pada tahun 2021, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI memanggil Tommy Soeharto untuk menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI senilai Rp2,61 triliun.
Pemanggilan ini dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Satgas BLBI atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sebelumnya menolak gugatan Satgas BLBI terhadap Tommy Soeharto.
Selain itu, Tommy Soeharto juga menggugat pemerintah terkait sengketa ganti rugi tanah di kawasan jalan tol Depok-Antasari.
Tommy merasa ganti rugi atas tanah dan bangunan yang dimilikinya tidak sesuai dengan nilai pasar. Ia menuntut uang ganti rugi sebesar Rp 56 miliar.
karena merasa tidak puas dengan nilai ganti rugi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kasus ini masih berlangsung di pengadilan dan belum ada putusan akhir. Kasus-kasus yang melibatkan Tommy Soeharto ini menimbulkan berbagai tanggapan dari publik.
Ada yang mengkritik pemerintah karena dianggap tidak tegas dalam menagih utang dan memberantas korupsi.
Ada juga yang mendukung upaya hukum yang dilakukan oleh Tommy Soeharto sebagai warga negara yang berhak mendapatkan keadilan.