Nomo Koeswoyo meninggal dunia, dia adalah salah satu pendiri grup legendaris Koes Bersaudara.
Intisari-Online.com - Kabar duka datang dari dunia musik Indonesia.
Sang legenda, pentolan grup Koes Bersaudara--cikal bakal Koes Plus, Nomo Koeswoyo, meninggal dunia pada Rabu (15/3) di Magelang, Jawa Tengah.
Nomo meninggal di usia 85 tahun.
Kabar meninggalnya Nomo Koeswoyo disampaikan oleh keluarga langsung melalui akun Instagram.
Rencananya, almarhum akan disemayamkan di rumah duka di Jakarta Selatan untuk kemudian dimakamkan di TPU Jerut Perut, Jakarta Selatan.
Nomo dikenal sebagai salah satumusisi yang membentuk kelompok musik Koes Bersaudara.
Bersama beberapa saudara kandungnya, Koes Bersaudara pernah meramaikan industri musik Tanah Air.
Koes Bersaudara pun menjadi salah satu grup musik legendaris.
Tapi Nomo Koeswoyo akhirnya memutuskan keluar dari kelompok itu, hingga akhirnya grup tersebut berubah nama menjadiKoes Plus.
Nah, omong-omong soal Koes Bersaudara, ada kisah menarik tentang mereka.
Pada 1965, Koes Bersaudara ditangkap rezim Orde Lama karena dianggap memainkan musik ngak-ngek-ngok.
Tapi ada cerita lain seputar penangkapan tersebut yang berbeda dari pemahaman publik.
"Tahun 1965 sangat mengesankan bagi Koes Bersaudara. Bukan karena kami masuk Penjara Glodok, tetapi tentang rencana pemerintah di balik itu," kenang Yok Koeswoyo dalam sebuah perbincangan di Kompleks, Jl.Haji Nawi 72 Jakarta Selatan, 3 April 2013.
"Ya, rencana negara mengirim kami ke Malaysia untuk mengintip atau mengintai langsung apakah orang Indonesia di sana atau orang Malaysia antipati kepada Indonesia, karena waktu itu kita kurangsregdengan berdirinya Malaysia yang sebelumnya bernama Malaya.”
Koes Bersaudara ternyata sengaja dimasukkan ke penjara untuk memberi kesan bahwa grup musik itu tidak disukai Pemerintah Indonesia dan diharapkan tidak dicurigai kalau dikirim untuk manggung di Malaysia.
Buktinya antara lain ketika Koes Bersaudara tampil di pesta di kediaman Kolonel Koesno, Jati Petamburan, Jakarta Barat.
Selain mereka, tampil juga grup perempuan Dara Puspita dan grup band Toto Sardjan, kakak Titi Qadarsih.
Sementara pesta berlangsung meriah, entah dari mana datangnya serombongan orang berkerumun dan berteriak-teriak, “Ganyang Nekolim, ganyangngak-ngik-ngok!” karena terdengar lagu-lagu The Beatles yang sudah diwanti-wanti Bung Karno agar tidak dimainkan grup musik di Tanah Air.
“Koes Bersaudara ternyata dirancang sedemikian rupa sebagai korban karena membawakan lagu-lagu The Beatles,” sambung Mas Yok.
“Ketidaktahuan kami itu membuat Mas Tonny merasa dikorbankan dan melampiaskan kekecewaannya dalam album ‘To the So Called the Guilties’ yang mengisahkan berbagai pengalaman kami di penjara.”
Ikut dalam perbincangan di sore hari itu adalah Mas Djon, putra tertua Pak Koeswoyo, yang ikut rekaman album-album pertama Koes Bersaudara.
Sebelumnya, pada 1958 bersama Mas Tonny, Jan Mintaraga (pelukis komik), Teguh Esha (wartawan dan pengarang), dan Sophan Sophiaan (bintang film) mendirikan Teenagers Voice.
Jika tidak terjadi peristiwa G30S, Gerakan 30 September, Koes Bersaudara hampir pasti dikirim ke Malaysia melaksanakan misi rahasia negara.
Tidak hanya Bung Karno yang mencoba mempolitisasi Koes Bersaudara.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto juga menggunakan popularitas Koes Plus untuk mendeteksi sampai di mana besarnya masyarakat yang pro-Indonesia di Timor Purtugis (sekarang Timor Leste) pada awal 1970-an.
“Kami berangkat ke sana awal 1974 dan mengadakan pertunjukan di sebuah gedung. Tidak hanya pertunjukan kami yang disambut hangat.
Ketika kembali ke Hotel Turismo, tempat kami menginap, orang-orang menggedor-gedor mobil kami sambil berteriak,“Koes Plus bom grupo de musica. Viva Presidente Soeharto!”(Koes Plus grup musik yang bagus. Hidup Presiden Soeharto!)
Kembali ke Jakarta, Koes Plus disambut Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Ali Moertopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto).
Paspor mereka diminta dan tidak dikembalikan.
(Ditulis oleh Mayong S. Laksono. Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Juni 2014)