Intisari-Online.com -Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman pada 23 Oktober 1771.
Pendirian ini ditandai dengan pembukaan hutan di pertigaan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar.
Secara geografis, kota ini dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yakni Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Dikutip dari pariwisataindonesia.id dan buku Asal-usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe yang ditulis Zaenuddin HM nama Pontianak tak lepas dari kisah-kisah hantu kuntilanak yang selalu mengganggu Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Alkisah diberitahukan tentang Sungai Kapuas, Sultan Syarif selalu diganggu kuntilanak.
Ia pun melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu kuntilanak. Selain itu lokasi peluru meriam yang ditembakkan jatuh, akan didirikan sebuah kesultanan.
Peluru meriam jatuh di dekat perempatan Sungai Kapuas dan Sungai Landak yang kini dikenal dengan nama Bering.
Sang Raja menembakkan meriam ke tiga tempat yang kemudian jadi 3 titik pembangunan Pontianak.
Ternyata, tembakan meriam yang suaranya sangat kencang itu berhasil menakuti para kuntilanak sehingga mereka pergi dari hutan Pontianak.
Terlepas dari itu, seorang pengamat politik dan juga seorang antropolog di Jerman,Timo Duile, juga meneliti tentang mitos kuntilanak di Pontianak, Kalimantan Barat.
Pria yang mengajar di Universitas Bonn, Jerman, ini sendiri tidak percaya dengan eksistensi hantu, namunsebagai antropolog legenda itu adalah bagian penting bagi objek penelitiannya.
Baca Juga: Jadi Latar Film Shaolin, Ini Fakta Para Biksu dari Kuil Shaolin yang Jago Berperang
Awalnya, Timo meneliti soal animisme di Kalimantan Barat.
Ia meriset budaya Dayak, dan bagaimana perspektif komunitas Dayak terhadap alam mereka.
Namun, karena saat meneliti Timo sempat tinggal di Pontianak, ia juga memperhatikan bagaimana mitos kuntilanak menjadi ikon di kota itu.
Bagian masyarakat yang terusir
Makhluk halus itu menurut Timo dianggap sebagai manusia yang tidak bisa dilihat.
Tapi, selama masyarakat memiliki hubungan baik saat ritual dengan makhluk halus, dan mereka punya hubungan baik dengan makhluk halus, maka makhluk halus tersebut bisa dianggap sebagai orang yang membantu untuk melawan penyakit pada tumbuhan-tumbuhan misalnya, papar Timo Duile lebih lanjut.
"Maksud saya, dalam animisme hubungan dengan makhluk halus sangat kompleks, pada dasarnya mereka dilihat sebagai entitas sosial yang punya masyarakat dalam dunia makhluk halus dan punya hubungan dengan masyarakat manusia, itu sebuah masyarakat besar."
"Tapi dalam mitos kuntilanak, makhluk halus itu diusir oleh masyarakat manusia, sehingga ada perubahan hubungan atau perubahan sosial,” tambahnya.
"Hubungannya jadi berubah. Sangat berubah. Sebenarnya manusia juga mendapatkan kebebasan, selama kuntilanak jauh, manusia tidak takut lagi bahwa penunggu atau hantu itu mengganggu."
"Di sisi lain, hal itu juga membuat kuntilanak dipandang jadi hantu yang kejam, berbahaya, yang harus ditakuti manusia di wilayah yang sungguh dianggap "berada”, dan belajar untuk takut dengan hantu."
"Karena hantu itu sekarang jadi hantu yang tidak bisa dikontrol lagi dengan ritual atau ahli. Jadi hantu itu harus diusir. Dia bukan lagi dianggap bagian dari masyarakat," papar Timo Duile.
Baca Juga: Legenda Ratu Laut Selatan Jawa: Nyi Blorong dan Nyi Roro Kidul Bukan Sosok yang Sama?
Menurut Timo Duile, sebenarnya bisa dikatakan bahwa kuntilanak itu bagian dari masyarakat, "Bahkan bagian dari kita semua, dari kita sendiri yang kita usir."
"Bukan menjadi bebas, tapi juga mendatangkan rasa ketakutan."
Baca Juga: Legenda Sangkuriang, Benarkah Berkaitan dengan Gunung Api Purba?
(*)