Intisari-Online.com -Jurusan Tatakelola Seni, Fakultas Seni Rupa Institut Seni (FSR-ISI), Yogyakarta menggelar Kelola Art Festival “Biduk” pada 18–20 November 2022. Festival ini menampilkan karya rupa, bazar, serta pertunjukkan.
Mohammad Arrazi, ketua panitia festival ini mengatakan bahwa, dibanding dengan tiga tahun sebelumnya, ada beberapa hal yang membuat festival kali ini tampil baru.
“Di tahun ini, kita menyelenggarakan secara luring [luar jaringan–red.],” katanya. “Beneran enggak mudah, apalagi kami masuk kuliah di masa pandemi,” tambah mahasiswa TKS angkatan 2020 itu.
Selain itu, festival kali ini juga digelar secara internasional. Artinya, festival melibatkan jejaring dari lintas negara.
Misalnya, sebagai pengisi internasional dihadirkan dari berbagai pihak, antara lain dari National Gallery Singapore, peneliti dari Universitas Humboldt, Berlin, Jerman dan dari Prancis,seorang pemilik Museum Pasifika di Nusa Dua, Bali.
“Dari kampus ingin meluaskan jejaring. Kampus memang mendukung kegiatan kayak gini,” kata Arrazi yang ditemui pada Minggu (20/11). Selain itu, juga ada seniman Malaysia yang karyanya turut dipajang.
Menurutmahasiswa asal Bogor ini, yang membuat festival kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah bahwa sejak dua bulan lalu sudah ada kegiatan. “Selama dua bulan kami menjalani Kelola Art Fest,” kata Arrazi.
Ajang Belajar
Mikke Susanto, Ketua Jurusan TKS, mengatakan bahwa festival kepanjangan dari mata kuliah Tinjauan Tata Kelola Seni ini adalah ajang latihan bagi mahasiswa.
Mikke ingin agar para mahasiswa bisa berdiri sebagai akademisi yang mampu berpikir sistematis dan terstruktur, juga memiliki pengalaman lapangan yang luas.
“Jadi ini latihan seutuh-utuhnya. Teori manajemen event, bersabar, pelajaran terus menerus untuk bisa bekerja dalam tim, kemudian memeras otak agar jaringan makin luas,” kata Mikke ketika dihubungi pada Jumat (18/11).
Selain itu, prodi TKS juga menyiapkan mahasiswa agar bisa berkarier di masa depan. “Festival ini menjadi sarana bagi mahasiswa untuk melihat peluang di masa depan yang bekerja; mereka kami beri pelajaran yang cukup berat di tengah kota Yogyakarta yang kaya akan festival,” kata Mikke.
Lanjut Mikke, hal ini dilakukan sebab hingga saat ini Prodi Tatakelola Seni di ISI masih menjadi pionir. “Kami akan jadi contoh di masa depan di antar kampus seni di Indonesia. Mereka diletakkan sebagai anak panah. Kami berusaha mengisi slot-slot itu di masa depan,” ungkap Mikke. Ia berharap, festival ini dapat jadi bekal bagi mahasiswa di masa depan.
Festival ini juga membuka ruang diskusi dan rekreasi selebar-lebarnya untuk para pengunjung, seniman, dan semua disiplin yang terlibat dalam festival ini.
Meski begitu, karena mengutamakan soal proses, pihak kampus tidak memasalahkan soal hasil. “Asalkan jaringan bertambah, pelaksanaan sesuai rencana, laporan keuangan beres, serta mengundang kolega kampus. Namun, karena pendanaan juga disokong kampus, Mikke harap laporan keuangan tidak ada masalah.
Kritik perilaku konsumsi
Kelola Art Fest tahun ini mengambil tema 'Biduk' yang diambil dari peribahasa “Ada Biduk Serempu Pula". Peribahasa itu berarti tidak pernah merasa puas, selalu menginginkan yang lain.
'Biduk' diambil sebab tema besar festival ini seputar konsumerisme.
“Tajuk ini juga merupakan respons kekhawatiran kami terhadap realitas fenomena konsumerisme yang nyata namun samar, kami berharap festival ini dapat menyebarkan kesadaran kepada audiens dalam menghadapi fenomena konsumerisme,” seperti rilis pers yang Intisari terima.
Kata Mikke, selama tujuh kali, topik festival telah mengangkat masalah sosial yang ada di masyarakat. “Aspek sosial masyarakat dapat. Itu yang membuatku gembira, bahwa kurasinya tidak hanya seni untuk seni,” katanya.
Secara berurutan, ketujuh topik yaitu “Ultrasonography”, “Marketisme”, “Ecosystemix”, “Plastic Unfantastic”, “Neo Pop Culture”, dan “Agora In Dystopia”.