Sultan Agung Marah, 744 Prajurit Jawa Dihukum Mati Tanpa Dikubur dan Sebagian Tak Berkepala

Khaerunisa

Editor

(Ilustrasi) serangan Mataram ke Batavia.
(Ilustrasi) serangan Mataram ke Batavia.

Intisari-Online.com - Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan.

Ia naik tahta dalam usia 20 tahun, kemudian memerintah antara tahun 1613 hingga 1645.

Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura berhasil ditaklukan.

Pada kurun waktu 1613 sampai 1645, wilayah kekuasaan Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

Kehadiran Sultan Agung sebagai penguasa tertinggi, membawa Kerajaan Mataram Islam kepada peradaban kebudayaan pada tingkat lebih tinggi.

Salah satu cita-cita yang dimiliki Sultan Agung adalah menyatukan Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram.

Selain itu, juga mengusir kekuasaan asing dari Nusantara, seperti VOC.

Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Belanda didirikan pada 1602 oleh Belanda.

Tujuan pembentukan VOC adalah untuk menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Asia, terutama Indonesia.

Sultan Agung terusik ketika di penghujung tahun 1619, VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten.

Bahkan, VOC pun memindahkan kantor pusatnya dari Ambon Maluku ke Jayakarta atau yang kemudian diubah namanya menjadi Batavia itu.

Wilayah tersebut merupakan salah satu wilayah yang belum mampu ditaklukan Kerajaan Mataram.

Fakta VOC yang terkenal memperbudak pribumi juga mengganggu pikiran Sultan Agung.

Sempat menjalin hubungan diplomatik dengan VOC, namun hubungan itu putus ketika VOC menolak membantu Mataram dalam penyerangan ke Surabaya.

Akhirnya setelah Mataram berhasil menaklukan Surabaya, giliran Batavia yang menjadi tujuan selanjutnya.

Pasalnya untuk dapat menyerang Banten, Mataram harus lebih dulu mengatasi Batavia yang posisinya menjadi 'benteng' Kesultanan Banten.

Itulah yang mengawali serangan Mataram ke Batavia yang menjadi salah satu sejarah penting Mataram dan pemerintahan Sultan Agung.

Serangan Sultan Agung ke Batavia terjadi sebanyak dua kali, yaitu tahun 1628 dan tahun 1629.

Serangan pertama yang terjadi pada tahun 1628 dipimpin oleh Tumenggung Baureksa, bupati Kendal.

Sementara serangan kedua pasukan Mataram ke Batavia pada tahun 1629 dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya.

Keduanya berakhir dengan mundurnya pasukan Mataram dari Batavia.

Strategi yang diterapkan sempat berhasil membuat pasukan Belanda kewalahan, namun rupanya itu belum bisa mengalahkan pasukan Belanda.

Di antara gagalnya kedua serangan tersebut, Sultan Agung dikisahkan pernah marah besar hingga ratusan prajuritnya dihukum mati tanpa dikubur dan sebagian tak berkepala.

Itu terjadi pada kegagalan serangan pertama Mataram ke Batavia, yang berlangsung antara 22 Agustus hingga 3 Desember 1628.

Pada tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Baureksa dari Kendal yang diberi titah Sultan Agung memimpin penyerbuan ke Benteng Belanda, mendaratkan 59 perahu berisi 900 prajurit ke teluk Jakarta.

Di dalam kapal, armada Baureksa membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa dan 12.000 karung beras.

Awal mula kedatangan Mataram ke Batavia, mereka mengaku ingin berdagang di sana. Namun, karena ukuran kapal pihak Mataram berukuran besar, hal ini membuat Belanda curiga.

Keesokan harinya, Belanda mengizinkan sapi untuk dikirim, dengan syarat hanya satu kapal mataram saja yang berlabuh.

Kemudian, datang lagi tiga kapal Mataram. Mereka mengklaim bahwa Mataram ada di Batavia untuk meminta izin perjalanan untuk berdagang dengan Malaka. Pihak Belanda merasa semakin curiga dengan peningkatan jumlah kapal secara tiba-tiba ke Batavia.

Berlanjut lagi, pada sore hari sejumlah 20 lebih kapal Mataram tiba dan mulai menurunkan pasukannya di utara benteng. Peristiwa ini membuat Belanda memperingatkan pasukannya untuk menarik semua prajurit ke dalam benteng dan mulai menembaki orang-orang Jawa yang masuk.

Pada 28 Agustus 1628, sebanyak 27 kapal Matarm memasuki teluk dengan berlabuh cukup jauh dari Batavia.

Dari selatan Batavia, pasukan Mataram yang berjumlah 1000 orang mulai berdatangan.

Tanggal 29 Agustus, Mataram melemparkan serangan pertamanya kepada Batavia. Serangan mereka lancarkan terhadap Benteng Hollandia, yang terletak di tenggara kota. Namun, serangan itu berhasil dihalau oleh 120 pasukan VOC yang dipimpin oleh Jacob van der Plaetten.

Bulan Oktober, tentara Mataram tiba dengan jumlah 10.000 pasukan. Mereka memblokade semua jalan dari selatan hingga barat kota, serta mencoba membendung Sungai Ciliwung untuk membatasi pasokan air Belanda.

Akan tetapi, serangan mereka ini tidak menghasilkan apa-apa, justru hanya memberikan kerugian besar bagi Mataram.

Memasuki bulan Desember, Mataram sudah kehabisan persediaan. Lantaran kurang perbekalan, akhirnya inilah yang membuat pasukan Mataram mundur dari Batavia.

Atas kegagalan itu, sejarah mencatat bahwa pada 21 Oktober 1628, Tumenggung Baureksa dan Pangeran Mandurareja serta prajurit yang tersisa dihukum mati dengan cara dipenggal.

"VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala," tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008.

Seperti itulah berakhirnya serangan pertama Mataram ke Batavia dengan ratusan prajurit dihukum mati.

Sementara pada serangan kedua, pasukan Mataram mundur usai Belanda membakar lumbung padi milik mereka.

Kedua serangannya ke Batavia memang gagal, namun sampai akhir hayatnya pada tahun 1645, Sultan Agung tetap tidak mau berdamai dengan VOC.

Baca Juga: Siasat 'Gila' Kompeni Pertahankan Batavia, Serang Pasukan Sultan Agung dengan Tinja

(*)

Artikel Terkait