Presiden Jokowi Pindah ke Istana Bogor: Istana Bogor yang Pernah Diamuk Api dan Gempa (Bagian Kedua)

Moh Habib Asyhad

Editor

Presiden Jokowi Pindah ke Istana Bogor: Istana Bogor yang Pernah Diamuk Api dan Gempa (Bagian Kedua)
Presiden Jokowi Pindah ke Istana Bogor: Istana Bogor yang Pernah Diamuk Api dan Gempa (Bagian Kedua)

Intisari-Online.com -Istana Bogor tengah ramai dibicarakan. Apalagi kalau bukan soal rencana presiden pindah ke sana. Benar. ada desas-desus Presiden Jokowi pindah ke Istana Bogor. Ada yang bilang, Presiden menginginkan suasana yang lebih tenang, ada yang berspekulasi Presiden ingin menjaga jarak dari partai-partai pendukungnya. Sementara Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, mengatakan, Presiden ingin memanfaatkan fasilitas yang ada.

Terkait kemegahan Istana Bogor, Intisari edisi Desember 1996 pernah memuat tulisan wartawan senior Kompas, St. Sularto, yang berjudul “Ketemu Si Denok di Istana Bogor”.

---

Bentuk Istana Bogor dengan warna putihnya itu memang tidak banyak berbeda dengan hasil renovasi tahun 1950. Pada saat itu Istana Bogor baru saja dinyatakan sebagai Istana Kepresidenan, menyusul pengakuan kemerdekaan RI oleh Belanda. Presiden Soekarno yang menempati istana itu, membawa sendiri tempat tidur besi bertiang empat model kuno dari Jakarta, di samping membeli meja-kursi dari Javahout dan tirai merah darah untuk penutup jendela setinggi 3 m dari van der Pal.

Pada 1954, selain 5 paviliun, dibangun pula beranda bangunan utama yang ditopang 10 tiang gaya Ionia dari serambi dengan 5 tiang penopang. Terletak di samping pintu gerbang utama, pada tahun 1964 dibangun paviliun Dyah Bayurini. Ini konon nama yang dipersiapkan untuk calon putri Ny. Hartini. Karena yang lahir ternyata putra, nama itu dijadikan nama paviliun yang baru, meski si bayi tetap dipanggil Bayu.

Sejarah kehadiran Istana Bogor sendiri diawali dengan keinginan Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff mencari tempat beristirahat di luar kota. Lokasi yang dipilih adalah Kampong Baroe, sekitar 60 km selatan Batavia. Begitu selesai dibangun, tahun 1745, pesanggrahan yang meniru Istana Bleinheim (kediaman Duke of Marlborough, nenek moyang Putri Diana, di Oxford, Inggris) itu diberinya nama Buitenzorg yang berarti "terlepas dari kesulitan".

Setelah Imhoff, Buitenzorg dibakar habis oleh rakyat Banten di bawah pimpinan Kyai Tapa dan Ratu Bagus dalam Perang Banten (1750 - 1752). Pengganti Imhoff, JacobMossel (1750 - 1761) membangunnya kembali. Para penggantinya memperluasnya dengan mendirikan gereja dan rumah sakit di pinggir areal peristirahatan seluas 28 ha itu. Sampai sekarang gereja tersebut masih digunakan untuk acara-acara keagamaan Kristen Protestan.

Gubernur Jenderal Willem Daendels (1801 – 1811) menyempurnakan Buitenzorg dengan menambah sayap kanan dan kiri yang bertingkat, tetapi ia memanfaatkan bangunan utamanya untuk gudang.

Rusa mulai ada di masa Raffles

Perombakan besar besaran dilakukan oleh Letjen Thomas Stamford Raffles dari Inggris meski masa kekuasaannya di Hindia Belanda cuma 5 tahun (1811 - 1816). Ia memperbaiki bangunan utama dan memperindah taman dengan mengambil pola taman di Inggris.

Saat itu pun Raffles melepas sepasang rusa bertanduk panjang dan berbercak putih yang didatangkan dari daerah perbatasan Nepal dan India. Di tahun '60-an, populasinya pernah memuncak sampai 900 ekor, sehingga dibagi-bagikan ke suaka-suaka alam di seluruh Indonesia. Sekarang, jumlahnya lebih dari 600 ekor. Nyatalah rusa-rusa ini telah menjadi salah satu ciri khas Istana Bogor.

"Para tamu agung selalu terkesan melihat gerombolan rusa berlarian pada saat mobil mereka meluncur melewati pintu gerbang," tutur Ny. Hartini. Ia masih ingat, 2 atau 4 ekor di antaranya setiap hari datang ke paviliun tempat tinggalnya, untuk menikmati suguhan kulit semangka atau sisa-sisa sayuran.

Ketika Belanda kembali menguasai Hindia Belanda, Gubemur van der Capellen (1819 - 1826) memperindah bangunan utama dengan menambahkan satu tingkat lagi dan menara di atasnya. Namun bukan bangunan ini yang kita lihat bertahan sampai sekarang.

Buitenzorg mengalami perombakan terakhir secara besar-besaran pada masa Gubemur Jenderal Pahud de Montanger yang selesai tahun 1850, setelah istana itu porak-poranda akibat gempa bumi 10 Oktober 1834. Untuk mengurangi bahaya gempa bumi, bangunan dibuat hanya satu tingkat. Sedangkan perubahan lain adalah dua jembatan penghubung antara bangunan utama dengan sayap kanan dan sayap kiri dari kayu yang berbentuk melengkung. Modelnya gaya Eropa abad XIX. Dua puluh tahun kemudian, Istana Bogor ini bukan lagi sekadar pesanggrahan. la menjadi kediaman resmi gubernur jenderal.