Intisari-Online.com – Meskipun banyak pasangan modern yang menikah dalam tradisi Shinto, agama politeistik asli Jepang, namun mereka sering kali memilih campuran elemen dari tradisi Jepang dan Barat yang paling cocok untuk mereka.
Menurut survei tren yang pernah dilakukan di situs pernikahan Jepang, pernikahan gaya Barat atau Kristen dilakukan sekitar 50 persen pengantin, sedangkan upacara sekuler dan upacara Shinto, masing-masing 30 persen dan 20 persen.
Berikut ini tradisi pernikahan dengan ritual Shinto yang menyertai ritual pernikahan secara modern, seperti dikonsultasikan dengan Toyohido Ikeda, kepala pendeta Shinto di Kuil Sugawara di Machida, Tokyo.
Rencana pra-pernikahan dan Rokuyo
Sebelum pernikahan, pasangan mengatur makan malam untuk keluarga mereka sehingga orangtua masing-masing memiliki kesempatan untuk bertemu secara resmi.
Saat menetapkan tanggal, sebagian besar pasangan melihat kalender lunisolar, atau rokuyo, untuk memilih tanggal keberuntungan.
Tanggal yang ditetapkan sebagai ‘keberuntungan’ sering dipilih, terutama saat jatuh pada akhir pekan.
Namun, penyelenggara pernikahan kadang cerdik, mereka sering menawarkan diskon pada hari-hari yang kurang beruntung, dan pasangan yang tidak percaya takhayul bisa menghemat uang dengan cara ini.
Pakaian tradisional
Pakaian cenderung dicocokkan dengan gaya pernikahan yang dipilih pasangan, biasanya gaun putih dan tuksedo di pernikahan gaya Kristen, serta kimono yang megah di pernikahan bergaya Shinto.
Namun, sudah biasa bagi pasangan pengantin untuk berganti kostum dalam pernikahan formal, mulai dari kimono ke gaun pengantin dan jas hingga pakaian yang lebih berwarna untuk berbagai bagian ritual.
Kimono pengantin pria terdiri dari lima lapis, dengan lapisan dalam berwarna putih dan jubah luar berwarna hitam pekat, disulam dengan lambang keluarga.
Pengantin wanita mengenakan shiromuku, kimono sutra bersulam putih bersih.
Alternatifnya adalah iro-uchikake, atau jubah yang berwarna cerah, sering kali warna merah sebagai warna utama, dan disulam rumit dengan benang emas dan perak.
Kimono ini dilengkapi dengan hiasan kepala yang rumit, tsunokakushi, yang berarti ‘menyembunyikan tanduknya’, dikatakan dapat menjauhkan kecemburuan.
Atau wataboshi, topi berkubah yang menutupi tatanan rambut yang rumit.
Pengantin wanita juga menyembunyikan belati di jubahnya, untuk melindungi keluarganya.
Tempat pernikahan
Ritual pernikahan secara tradisional sering diadakan di kuil Shinto, agama asli Jepang, dan dipimpin oleh seorang pendeta dalam upacara yang disebut shinzenshiki, atau ‘perkawinana di hadapan para dewa’.
Melansir Brides, pilihan tempat lainnya adalah di hotel atau tempat pernikahan khusus.
Upacara pernikahan sering kali hanya disaksikan oleh keluarga dan teman dekat, dilanjutkan dengan resepsi di aula perjamuan, termasuk jamuan makan resmi dan sejumlah anggota keluarga kunci dan rekan penting, bersulang.
Pada saat resepsi barulah dihadiri oleh kalangan tamu yang lebih luas.
Sering ada pesta lain setelah resepsi formal, yang disebut nijikai, atau pesta kedua, yang lebih santai dan cenderung melibatkan teman daripada keluarga, yang biasanya di bar atau restoran terdekat.
Ritus Shinto
Sistem menyatakan bahwa pada awal keberadaan Jepang, dewa Shinto primordial Izanagi dan Izanami turun dari surga ke sebuah pulau yang baru dibuat di Bumi.
Mereka lalu mendirikan tempat tinggal dan melakukan upacara pernikahan untuk menandai persatuan mereka.
Dari persatuan ini, Izanami melahirkan pulau-pulau Jepang bersama dengan banyak dewa lainnya.
Maka, dewa dan dewi inilah yang menyaksikan pernikahan Anda dalam shizenshiki, jelas pendeta Shinto Toyohiko Ikeda.
Jelas Ikeda, “Koneksi adalah ide sentral dari sebuah kuil. Upacara kuil difokuskan pada hubungan, antarmanusia, antartempat. Jadi wajar jika upacara pernikahan dilakukan di kuil.”
Ikeda menjelaskan beberapa langkah dalam pernikahan kuil.
Pertama, bersihkan tangan dan mulut dengan air, ini berarti pembersihan hati dan tubuh, maka upacara dapat dimulai.
Pendeta lalu memimpin upacara penyucian, kemudian makanan dan alkohol dipersembahkan kepada para dewa.
Lalu, imam memimpin doa untuk memberitahu dewa pernikahan dan meminta perlindungan pasangan, dan kemudian sumpah diucapkan.
Setelah itu pasangan melakukan sansankudo, atau cangkir pernikahan, yang secara harfiah berarti ‘tiga-tiga-sembilan’.
Dalam ritual ini, pasangan minum tiga teguk sake masing-masing dari tiga cangkir.
Cangkir pertama, terkecil, mewakili masa lalu pasangan dan rasa terima kasih kepada leluhur mereka.
Yang kedua, cangkir sedang, mewakili masa kini, dan pasangan seperti sekarang.
Cangkir terbesar ketiga mewakili masa depan, dan kesehatan pasangan dan keturunan mereka.
Setelah akad nikah, diadakan tukar cincin pernikahan, meski bukan bagian dari ritual adat, melainkan tambahan modern.
Terakhir, persembahan sebatang pohon keramat, kemudian lebih banyak makanan dan anggur.
Hadiah
Para tamu diharapkan memberi uang hadiah, yang disebut goshugi, saat menghadiri pernikahan.
Uang hadiah disimpan dalam amplop khusus yang disebut shugibukuro, dan sering kali dihiasi dengan hiasan emas atau kawat yang diikat logam dan hiasan lainnya.
Uang yang diberikan harus uang baru, melambangkan awal baru pasangan, dan jumlahnya harus ganjil, melambangkan ketidakterpisahan pasangan.
Para tamu juga menerima hadiah berupa suvenir pernikahan dari pasangan, yaitu hikigashi (permen dan kue kering0 atau hikidemono, yang berupa hadiah yang lebih besar seperti keramik, barang pecah belah, atau handuk mewah.
Beberapa tahun terakhir bahkan diberikan katalog hadiah yang dapat dipilih sendiri, mulai dari ceret the hingga perlengkapan mandi.
Terakhir, merupakan kebiasaan bagi pasangan untuk memberikan hadiah rasa terima kasih kepada orangtua mereka, karena telah membesarkan dan membawa mereka sepanjang jalan hidup hingga saat ini.
Hadiah bervariasi dari barang sehari-hari yang berguna hingga voucher perjalanan, tetapi sering kali disertai dengan surat ucapan terima kasih yang tulus dari pengantin
Baca Juga: Seperti Inilah Tradisi Pernikahan Suku Minang di Sumatera Barat, Salah Satunya Malam Bainai!
Baca Juga: Pesta Cium dan Tanpa Lempar Bunga Pengantin, Seperti Inilah Tradisi Pernikahan di Swedia!
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari