Intisari-Online.com -Di bagian barat Jakarta ada Jl. Jembatan Dua, Jembatan Tiga, atau Jembatan Lima yang merupakan bekas pusat bisnis masa lampau. Itu karena orang yang hendak melintas harus membayar “tol” sebesar dua, tiga, atau lima kepeng.
Sementara Jl. Tubagus Angke dan Kali Angke-nya yang kesohor, diyakini sebagai tempat beranak-pinaknya keturunan Ratu Bagus Angke. Konon, bantaran kalinya sudah dihuni pemukim Cina dan Muslim jauh sebelum VOC tiba. Tubagus Angke adalah menantu Sultan Hasanuddin (Raja Banten) yang pernah memerintah Jayakarta.
Sayang, anak Tubagus Angke, Pangeran Ahmad Jaketra yang menggantikan almarhum ayahnya, tak mampu menahan serbuan dan kelicikan VOC. Sebagian pengikutnya lari ke Jatinegara Kaum, dekat tepian Kali Sunter. Mereka membawa berbagai bibit tanaman langka – termasuk “Kedoya”, kini nama kawasan di Kebonjeruk, Jakarta Barat.
Di dekat Angke ada Kampung Gusti, yang mengingatkan pada konsentrasi tentara Bali dan keluarganya. Kali Angke membelah Pekojan (tempat tinggal orang “Koja” yang Muslim) dan Jelakeng (Jie Lek Keng atau “tempat nomor 26”). Di Jelakeng ada perguruan silat terkenal, Pa Te Koan (delapan pendekar). Saat pemberontakan pada 1740, perguruan ini terlibat, pendekarnya pun dibantai Belanda. Sebagai penghormatan, masyarakat menamai kampung itu Pa Tie Kei (delapan jenazah).
Masih di barat, dekat Kampung Roa Malaka, ada Kampung Tiang Bendera. Konon, nama itu berasal dari kebiasaan kapitan Cina. Mereka biasa menaikkan bendera tanggal 1 – 10 setiap bulan, guna menandai “masa aktif” 10 hari warga Cina Batavia untuk membayar pajak kepala (hoofdgeld der Chineezen).
Di kota lama dan sekitarnya, pertemuan Jl. Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekarang ada simpang empat yang begitu melegenda, Harmoni. Rumah bola atau societeit Harmonie yang menjadi sumber inspirasinya – terletak di sekitar kompleks Kantor Setneg sekarang – sudah lenyap. Dulu, di tengah perempatan terdapat patung Dewa Hermes, dewa pelindung perniagaan dalam mitologi Yunani.
Di kanan-kiri Jl. Hayam Wuruk dan Gajah Mada (dipisahkan Sungai Ciliwung) dulu terhampar sawah, lengkap dengan kincir angin (molen) khas Belanda. Itu sebabnya, kawasan ini dinamai Molenvliet. Di selatan Molenvliet, ada pos keamanan Rijswijk. Di belakangnya, dekat pabrik es Petojo, ada dua pos penjagaan bernama Apenwacht alias Jaga Monyet. Sampai sekarang, masyarakat sekitar masih mempertahankan sebutan Jaga Monyet, meski tak jelas apakah memang ada monyetnya.
Pemekaran terus berlangsung. Di antaranya ke sekitar Lapangan Banteng (Weltevreden). Penafsiran baru Mona Lohanda tentang asal-usul nama lapangan itu cukup menggelitik. “Banyak yang percaya, nama tempat itu dulu Lapangan Singa, karena ada patung singa di atas tugu Waterloo bikinan Daendels,” papar Mona
Padahal kalau diperhatikan, gambaran singa nongkrong di atas monumen itu melenceng 100%. “Saya percaya, sebenarnya bukan gambar singa, tapi anjing pudel dengan keju bundar Belanda di bawahnya. Naga-naganya, tujuan pembuatan tugu itu bukan memperingati pertempuran Waterloo, tapi mengejek Prancis,” tafsirnya. Kalau Bung Karno tahu lebih awal, mungkin tak akan muhcul ide Lapangan Banteng. “BK kan menganggap citra singa terlalu Eropa, jadi mesti diganti dengan binatanglokal,” kata Mona.
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2002 dengan judul “Betawi Tercecer di Jalan”.