Intisari-Online.com -Wacana Joko Widodo alias Jokowi menjadi calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi Prabowo Subianto yang diusulkan jadi Capres 2024 mendapat tanggapan dari politisi Partai Gerindra dan PDI Perjuangan.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan terbuka kemungkinan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto maju sebagai calon presiden didampingi Jokowi maju di Piplres 2024.
Apalagi PDI-P sempat menyebutkan bahwa Jokowi bisa menjadi wakil presiden asalkan maju sebagai cawapres di Pemilu 2024.
"Ya kalau kemungkinan, ya ada saja," ujar Habiburokhman saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (14/9/2022) seperti dikutip dari Kompas.com.
Meski demikian, Habiburokhman menegaskan sosok cawapres yang akan diusung Gerindra merupakan kewenangan Prabowo selaku ketua umum partai.
Sementara itu,Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul mengatakan, Jokowi sangat mungkin jadi cawapres jika ada partai yang mengusungnya di pemilu.
"Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres, ya sangat bisa. Tapi, syaratnya diajukan oleh parpol atau gabungan parpol," kata Bambang saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/9/2022).
Bambang mengatakan, secara aturan, Jokowi diizinkan jika ingin maju sebagai calon wakil presiden.
Meski begitu,Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan kekuasaan jika Joko Widodo menjadi wakil presiden mendatang.
Sebabnya, Jokowi telah menjabat sebagai presiden dua periode sepuluh tahun lamanya.
Membuka peluang Jokowi sebagai cawapres berarti memberikan kesempatan bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu untuk menjabat lebih lama lagi di pucuk pemerintahan.
"Saya kira besar (potensi penyalahgunaan kekuasaan). Sepuluh tahun (pemerintahan Jokowi) saja situasinya sudah seperti ini, banyak abuse of power, banyak keanehan-keanehan, banyak ketidakadilan dari sisi hukum, banyak oligarki," kata Firman kepada Kompas.com, Rabu (14/8/2022).
Firman mengatakan, kekuasaan yang berkepanjangan tidak akan berdampak baik.
Dia mengingatkan soal power tends to corrupt atau kekuasaan yang cenderung korup.
Memang, Undang-Undang Dasar 1945 membolehkan seseorang yang pernah menjabat sebagai presiden dua periode mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Namun, pembatasan jabatan presiden dua periode di konstitusi sedianya bermaksud membatasi kekuasaan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
"Pada akhirnya sesuatu yang terlalu lama itu menjadi tidak menarik dan ini akan membuat suatu peluang bagi hadirnya sosok-sosok baru itu menjadi terpotong," ujar Firman.
Lagi pula, kata Firman, selama dua periode pemerintahan Jokowi, masih banyak persoalan negara yang belum teratasi.
Misalnya, soal lemahnya demokrasi. Menurut Firman, menempatkan Jokowi sebagai wakil presiden akan melanggengkan masalah-masalah yang sama ke depan.
Padahal, jika kursi RI-1 dan RI-2 dijabat oleh figur baru, sangat mungkin problem di era kepemimpinan Jokowi teratasi.
"Jadi kalau tetap ada seorang Jokowi di pojok sana ya saya kira tidak ada satu perubahan dari mereka yang selama ini sudah cukup berkuasa, akan ikutan juga berkepanjangan kekuasaannya," kata Firman.
Firman mengatakan, penempatan wajah lama di puncak kekuasaan menutup terjadinya penyegaran dalam pengelolaan negara.
Padahal, masih banyak sosok lain yang punya kemampuan untuk memimpin pemerintahan.
Oleh karenanya, alih-alih mewacanakan Jokowi sebagai calon wakil presiden, Firman berharap ada figur baru pada Pemilu 2024.
"Kalau memang Pak Jokowi diminta kontribusinya kan tidak mesti harus di dalam posisi RI-1 RI-2," kata Firman.
"Pak Jokowi tetap masih bisa incharge di dalam kehidupan politik berbangsa bernegara sebagai mungkin orang yang punya banyak pengalaman di dalam persoalan-persoalan tersebut," tuturnya.
(*)